Minggu, Januari 27, 2013

Sandal, Sepatu dan Sepotong Senyuman part. 3

 Sebelumnya yang pertama
 Sebelumnya yang kedua

"Ya... aku memang tidak terlalu dekat dengan kalian, tapi aku cukup tahu dan memperhatikan sepak terjang hubungan kalian. Meski hanya berlabel ‘sahabat’, tapi aku bisa melihat kalau hubungan kalian istimewa. Dan kehadiran Farah, cukup menggeser sedikit keistimewaan hubungan itu!” Rendra menjelaskan penilaiannya.
“Huh?” aku melenguh. “Itu hanya pikiranmu sendiri,” ucapku. Enggan rasanya membahas masalah ini. Keinginanku untuk tidak memikirkan mereka sepertinya harus ditunda.
“Tidak juga. Aku bisa merasakannya. Tapi, kamu harus tahu, se-istimewa apapun hubungan kalian, tetap saja komitmennya adalah ‘hanya bersahabat’, artinya kamu harus siap  dan bisa mengerti ketika Wisnu memutuskan untuk ‘jalan’ dengan perempuan lain. Bukan malah selalu menampakkan wajah sini tiap kalian bertiga bertemu.”
“Apa, sih yang kamu tahu tentang hubungan istimewa, Ren? Selama ini memangnya pernah kamu merasakan itu? Luntang-lantung ke sana kemari tanpa ada kejelasan. Sahabat perempuan tidak ada, apalagi pacar. Semua cuma numpang lewat dalam kehidupanmu. Jangan sok peduli pada hubunganku dengan Wisnu... dan jangan ikut campur!” ucapku emosi. Tidak ingin perasaanku dicampuri pihak luar.
Mendengar tanggapanku, Rendra hanya tersenyum simpul. Lalu bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar.
“Aku mau ke kantin dulu. Bersantailah di sini!” ucapnya sambil mengikat tali sepatunya.
Tiba-tiba rasa sesal menyelinap di hatiku. Aku sudah mengatakan hal yang menyakitkan pada laki-laki di depanku ini. Padahal, bisa dibilang kami sering berbincang dan tak jarang pemikirannya bisa membantuku keluar dari masalah. Sekarang, dia justru terkena imbas emosiku.
“Ren...!” panggilku. Rendra menghentikan aktivitasnya dan menoleh padaku.
“Ya?” ucapnya melihat aku justru terdiam setelah memanggilnya.
“Aku... Fiuffhh...!” Bukannya bicara, aku malah memotong kalimatku dengan helaan nafas. Rendra langsung mengerti. Dia melepaskan lagi sepatunya, lalu masuk dan duduk di sampingku. seperti posisi awalnya tadi.
“Kalau kamu butuh telinga, nih aku pinjamkan. Silahkan mencurahkan apa yang membebanimu!” ucapnya tersenyum dan memainkan kedua telinganya hingga bisa bergerak maju-mundur. Mau tidak mau aku tersenyum juga.
“Maaf... aku sudah mengatakan sesuatu yang menyinggungmu...”
“Ah, jangan dipikirkan! Santai saja. Seperti baru kenal kemarin saja!” katanya memotong ungkapan maafku. “Nah, apa yang membebani pikiranmu?”
“Mungkin kamu benar. Hubungan istimewa yang kujalin dengan Wisnu sudah terlalu lama, hingga membuatku merasa bahwa hanya aku yang pantas di sisinya. Aku merasa kalau aku yang paling mengerti dia. Aku yang paling tahu semua hal tentang dia. Aku lupa kalau dia juga butuh kehidupan lain. Bukan hanya teman, tapi dia juga butuh cinta. Aku melupakan itu.”
“Aku ingin dia bahagia. Tapi, alih-alih menginginkan hal itu, aku malah selalu sinis tiap dia mengenalkanku dengan perempuan lain. Meski tidak selalu perempuan itu menjadi kekasihnya. Aku selalu menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan seolah aku tidak setuju dengan pilihannya.”
“Kehadiran Farah yang tiba-tiba membuatku merasa tersingkir. Aku tidak terbiasa ada perempuan lain yang tahu apa kesukaan Wisnu, bagaimana Wisnu, dan semua hal tentang Wisnu. Mengejutkan ketika aku  tahu bahwa aku bukan lagi orang pertama yang tahu tentang hal-hal yang dilakukan atau dialami oleh Wisnu. Bukan merasa tersaingi, hanya saja... aku belum siap kehilangan sahabat seperti Wisnu. Apakah ini cinta atau bukan, aku tidak tahu pasti. Apakah aku hanya menganggap Wisnu sebagai sahabat atau lebih, aku tidak yakin. Yang kutahu, aku tidak ingin Wisnu menyingkirkanku.”
Tumpah sudah apa yang kurasakan selama ini. Lancar, tak terkendali. Seolah seperti air yang meluap. Aku tidak menangis atau mengharu biru seperti dalam sinetron. Meski suaraku terdengar berat. Huh, air mata yang tak keluar dan tangisan yang bisu itu sungguh lebih menyakitkan dibanding bisa meneriakkannya lantang-lantang. Benar saja, dalam dada yang tadinya terasa sangat menyesakkan, sekarang sudah terasa longgar. Seperti ada yang mengambil separuh bebannya.
Rendra mendengarkan setiap kalimatku dengan tenang. Tidak ada celotehan yang memotong ucapanku seperti yang biasa dilakukan saat kami bercanda. Dia tahu situasinya serius. Siaga satu. Satu-satunya yang kudengar dari mulutnya adalah desahan nafas panjang dan berat. Lalu disambung dengan geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Hm... sepertinya masalahmu benar-benar serius, ya?” ucapnya sambil mengusap dagunya. Berlagak seperti detektif yang tengah memikirkan pemecahan sebuah kasus.
“Sudahlah, aku sendiri heran, kenapa aku malah cerita sama kamu,” ucapku sambil memencet remote di tanganku. Entah mau mencari acara yang seperti apa.
“Maaf, maaf... “ ucapnya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Karena akupun pernah mengalaminya. Tidak selama kalian, sih bersahabatnya, tapi cukup membuatku merasakan tidak menyenangkannya kehilangan.”
Aku tidak mengalihkan pandanganku dari televisi. Sama dengan yang kulakukan tadi.
“Aku tidak punya hak memberi saran untukmu, tapi mungkin aku bisa mengatakan beberapa hal. Dan semoga saja bisa sedikit mambantumu.”
Akhirnya aku menoleh dan menyimak ucapannya kemudian.
“Sahabat itu, menurutku seperti sandal. Sedangkan pacar atau kekasih, itu lebih seperti sepatu. Layaknya sepatu, mereka memang ada untuk diperlihatkan pada khalayak. Untuk dibawa ke muka umum. Tapi, saat kita inginkan kenyamanan, santai tanpa harus jaga wibawa, dan ingin menjadi diri sendiri, kita akan lebih memilih sandal. Iya, kan?”
“Aku yakin, kok, Wisnu tidak akan meninggalkanmu. Tapi, saat ini dia juga tidak bisa meninggalkan Farah. Jadi, jangan memaksanya memilih.”
“Aku tidak memaksanya memilih, Ren,” ucapku membela diri.
“Maaf, ya... tapi, sikapmu yang seperti itu, secara tidak langsung sama dengan menyuruhnya memilih antara kamu atau dia,” jelas Rendra.
“Dengar, Ras, tidak ada yang salah dengan menjadi sahabat, kan? Aku yakin tempatmu di hati Wisnu lebih besar dibanding pacar-pacarnya. Jangan sampai itu tergeser hanya karena kamu bersikap seperti ini. Bergaulah dengan gadis yang dipilih menjadi kekasihnya. Kenali mereka, agar kamu bisa memberi penilaian yang objektif. Aku tebak, Wisnu masih datang padamu, kan untuk menanyakan pendapatmu tentang pacar-pacarnya?” Aku mengangguk.
“Dan... apapun yang kamu katakan, dia biasanya akan langsung berpikir untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan hubungannya, iya kan?”
“Kebanyakan seperti itu,” jawabku.
“Bukan kebanyakan, tapi memang seperti itu. Bukankah itu tanda bahwa dia ingin kamu tetap menjadi bagian dari dirinya. Agar kamu tetap merasa nyaman dan tidak merasa tersingkir. Hargailah usahanya, Teman! Aku ini laki-laki, bagi kami, sahabat adalah segalanya. Lebih penting daripada sekedar pacar, orang yang baru datang dalam hidup kami. Begitupun yang dirasakan Wisnu.”
Benarkah begitu?
“Lalu, aku harus bagaimana?”
“Tersenyumlah. Padanya... dan pada kekasihnya... atau siapapun orang yang dekat dengannya. Berilah semangat dan dukunganmu buatnya. Dengan selalu ada untuknya, lambat dia akan tahu bahwa kamu itu lebih dari istimewa.”
“Laki-laki itu tidak butuh perempuan yang cantik, seksi dengan dandanan yang aduhai, kok. Ya, tidak dipungkiri bahwa kamu suka dengan perempuan model begitu. Tapi, hanya untuk jalan-jalan, nonton, atau sekedar jaga gengsi. Tapi...” Rendra menekankan kata ‘tapi’. “saat mereka butuh sosok yang lebih dari itu, mereka akan mencari perempuan yang bisa membuatnya nyaman, tenang, dan bisa membuat mereka menjadi dirinya sendiri. Sosok calon ibu yang ideal untuk membangun keluarga dan anak-anak mereka nanti. Percaya, deh!”
“Sebuah sandal, hah?” aku tersenyum mengejek.
“Hahaha... ya, ya... sebuah sandal. Tapi, sebuah sandal yang berharga. Sama berharganya dengan sepotong senyuman.”
“Fiuffh...” Aku menghela nafas lagi. “Tak kusangka bicara denganmu bisa membawa kelegaan seperti ini, ya.”
“Hei, makanya jangan suka menilai orang dari luarnya saja. Penampilan boleh acak-acakan begini, tapi hatiku itu paling sensitif dan peka pada lingkungan.”
“Hahaha... ya, bungkus, deh!” jawabku sambil tertawa. “Ehm, tapi apa kau yakin, dia... maksudku Wisnu memang mengharapkan aku, sahabatnya ini berada di sampingnya?”
“Aku, sih tidak yakin seratus persen. Karena perasaan manusia tidak ada yang bisa tahu, kan? Tapi, selama ini yang kutahu kalau pergi dengan pacarnya, Wisnu tidak pernah pergi jauh. Maksudnya, perginya itu selalu yang dekat-dekat sini, atau mudah kamu jangkau.”
“Hah? Apa hubungannya dengan itu?”
“Supaya ketika kamu berubah pikiran, dan ingin menyusulnya, kamu tidak akan kesulitan.” Aku memandang Rendra tak percaya. “Sekarang kamu tahu, kan.. Yang menjadikan kamu jauh darinya adalah dirimu sendiri. Kamu yang membuat benteng itu sendiri. Kamu... yang melahirkan anggapan itu, Ras. Wisnu selalu berusaha mendekatkan kamu dengan kekasihnya, bukan hanya agar kamu tidak merasa tersingkir, melainkan agar dia tidak kehilangan sahabat terbaiknya.”
Aku takjub dengan apa yang dikatakan Rendra. Dia bisa berpikir sejauh itu? Atau jangan-jangan hanya perasaannya saja, ya?
“Eh, tapi darimana kamu tahu itu semua? Bukan cuma perkiraanmu saja, kan?”
“Siapa dulu... Rendra!!” jawabnya sambil menepuk dadanya.
“Serius, Ndra!” ucapku sambil melotot.
“Hehehe... “ Rendra meringis. “Tahu, tidak? Selama kamu menjauh dari Wisnu, dia kan jadi tidak punya teman berbagi cerita. Nah, di situlah keberadaan Syailendra Wibisono sangat berguna,” ucapnya lagi. Nama yang disebutnya itu adalah namanya sendiri. “Dia datang kemari, sepertimu begini, menceritakan keadaan hatinya, sepertimu juga, lalu.... kami jadi dekat!” lanjutnya.
Aku manggut-manggut menyetujui ceritanya. Apapun itu, benar atau tidak, sedikitnya aku bisa tenang. Dan sekarang aku akan menghampirinya sebagai sahabat. Tidak apa, kan?
Aku bangkit, setengah tergesa aku memakai sepatuku.
“Lho, mau kemana?”
“Mengirim sepotong senyuman!” jawabku singkat sambil mengikat tali sepatuku.
“Hmm, jadi aku ditinggal, nih setelah diganggu ketenanganku?”
Aku tersenyum sambil memandangnya, “Sandal itu... tidak perlu dibawa keluar. Tunggu sini saja, ya!”
“Hei... Dasar!” ucapnya sambil melemparku dengan bongkahan kertas. Lalu kami tertawa bersamaan. “Good luck, ya! Berikan senyuman paling tulusmu, agar dia tahu kamu selalu ada buatnya!”
Aku mengacungkan jempol, kemudian berlalu pergi. Setengah berlari menyusul ‘sandalku’ yang tengah bersama ‘sepatunya’. Siapa tahu, dia butuh kenyamanan.

Rendra memandang Laras yang berlari makin jauh. Tersenyum penuh arti.
Yah, mungkin saat ini, aku lebih baik menjadi ‘sandalmu’ dulu. Tapi, aku akan berusaha lebih keras hingga suatu hari nanti, aku bisa menjadi ‘sepatu’ sekaligus ‘sandal’ bagimu, Ras!
Rendrapun, mematikan televisinya lalu melangkah menuju kantin.

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar