Kamis, Januari 10, 2013

Penjual Kacang dan Sebuah Syukur (2)


Yang pertama bisa baca di sini

Perjalanan menuju ke sana, tidaklah lancar. Padahal hari ini bukan akhir pekan atau liburan sekolah. Tapi, jalanan lumayan padat. Ditambah gerimis yang mengakibatkan jalanan sedikit licin, sehingga kendaraan-kendaraan itu berjalan dengan pelan dan hati-hati. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Perasaan bahwa aku akan tiba di sana lebih dari tiga jam kemudian. Fiufhh....
Memasuki kawasan Magelang, hujan mulai menderas. Pak Sopir mulai menghidupkan wiper, kondukter-pun ikutan mulai menutupi kaca jendela bagian atas. Sempurna sudah terasa panas dan gerah di dalam bis ini. Angin hanya masuk melalui jendela di samping sopir dan kondektur, lalu harus di bagi dengan sekitar empat puluh orang di dalam bis ini. Jadilah, kertas yang sempat menjadi kipasku tadi, sekarang harus bersedia kembali menjadi kipas.
Jeda.
Aku ketiduran.
Tas barangku masih dalam dekapan.
Aku terbangun karena sebuah suara cempreng dengan petikan gitar dari seorang pengamen yang naik dalam bis ini. Suaranya keras sekali, hingga aku yang sudah memakai walkman masih juga terbangun karena berisik. Kulihat pengamen itu. Usianya sekitar enam atau tujuh belasan. Sama dengan usia adikku yang bungsu. Berarti harusnya dia masih sekolah, bukan malah jadi anak jalanan dan menjadi pengamen. Lagi-lagi masalah biaya, ya?

Hm, pendidikan dewasa ini memang sudah melambung biayanya. Dana BOS bukan lagi sesuatu yang bisa diharapkan. Karena kadang realisasinya tidak sesuai dengan yang digembor-gemborkan. Atau, ini adalah pilihan hidupnya? Banyak tindikan di wajahnya. Di hidung, mulut, telinga dan pelipisnya. Aku membayangkan bagaimana caranya dia cuci muka, ya? Tato juga tidak ketinggalan menghiasi tubuhnya. Kemeja jeans yang digunting paksa lengannya membuatku bisa melihat tato-tatonya. Tangan kanan mulai dari pundak hingga pergelangan tangan. Tangan kirinya hanya di lengannya. Aku hampir tersenyum geli saat pandanganku sampai pada bagian kakinya. Remaja di depanku yang tengah mengamen ini, dengan gayanya yang super metal ala anak punk, ternyata mengenakan sandal jepit. Bukankah kebanyakan mereka-mereka yang model seperti selalu memakai sepatu kets?
Setelah menyanyikan tiga buah lagu, dan mengucap terima kasih dengan kata-kata yang super cepat, dia mengeluarkan bekas bungkus permen. Kemudian dengan santun menyodorkan pada para penumpang sambil mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Tidak semuanya memberikan recehan padanya. Bahkan ada yang tidak segan membuang muka, seolah pengamen itu adalah sosok yang tidak layak untuk dilihat atau diberi senyuman.
Aku merogoh bagian depan kantong tasku. Tempat biasanya aku menyimpan harta melimpahku berupa uang receh. Aku tidak melihat berapa jumlah uang yang kuambil. Yang jelas, aku mengambil begitu saja. Memang tidak bergenggam-genggam, tapi lumayanlah. Aku meletakkan ke dalam bungkus permen yang disodorkan padaku. Terdengar bunyi kincring yang lemah, sepertinya tidak banyak yang memberinya uang sampai bangku baris ke enam ini. Ya, semoga di belakang akan banyak yang memberinya sekeping receh. Ah, kenapa aku jadi simpati? Dia, kan sudah membangunkanku dari tidur ‘siang’ku. Namun, sebuah ucapan terima kasih dari bibirnya dengan hiasan senyum membuatku terpaksa menaruh sedikit simpati padanya. Susahnya mencari uang, sedikit memberitahu padaku kenapa anak-anak seusia adik bungsuku ini malah berada di jalanan saat hari sekolah. Tapi aku tak tahu pasti, apakah memang untuk bertahan hidup, atau hanya untuk membeli seputung rokok? Entahlah.
Aku memandang keluar. Baru kusadar bahwa hujan sudah berhenti. Meninggalkan tetesan air yang merembet turun di kaca jendela bis ini. Menyisakan beberapa becek di jalanan. Aku mencari tahu sampai dimana sekarang melalui tulisan-tulisan yang mungkin menerangkan nama daerah ini. Tapi, sampai mataku hampir pusing menatap jalanan samping, aku belum menemukan nama daerah ini. Nihil.
Hingga akhirnya, pak sopir menghentikan bisnya di sebuah pojokan perempatan. Mengelap wajahnya dengan handuk yang tidak pernah terlepas bertengger di lehernya, sebelum turun dari bis. Kondektur sudah turun duluan, dan sekarang tengah berteriak-teriak mempromosikan bisnya untuk menarik penumpang tempat di perempatan jalan. Sepertinya akan lama ini, batinku. Bis yang berhenti di suatu tempat ramai, persimpangan jalan, kemudian sopir dan kondekturnya sampai turun, pasti tidak akan sebentar.
Daerah ini memang cukup ramai. Di sisi kanannya adalah sebuah pasar kecil dengan pedagang makanan di sepanjang jalannya. Sedangkan sisi kiri, banyak toko berjejer ditambah dengan beberapa angkutan umum yang ikutan bertengger mencari calon penumpang.
Di saat suasana suntuk mengetuk kepalaku, tiba-tiba sebuah pemadangan menyita mataku. Menariknya untuk terus melihat pada sesuatu itu. sehelaan nafas, rasa suntuk itu dapat kuusir. Pemandangan itu sebenarnya sangat sederhana. Bahkan lebih bisa cocok tidak menarik. Tapi, mataku tetap berada pada fokusnya. Perempuan tua menggunakan kebaya lusuh dengan jarik dengan memanggul sebuah keranjang besar di punggungnya. Aku tidak tahu apa yang dibawanya. Namun, kelihatannya bukan sesuatu yang ringan, hingga si perempuan renta itu harus membungkuk jalannya.
Sampai di depan sebuah toko, perempuan itu berhenti. Menurunkan beban berat di punggungnya. Duduk sebentar sekedar untuk menghela nafas, kemudian mengeluarkan sebuah sapu lidi kecil dari samping keranjangnya. Menyapu tempat yang akan dipakainya. Sebentar saja, kemudian menaruh sapu lidi tersebut di samping toko. Segera lalu dia bersimpuh dan membuka keranjang di hadapannya.
Sepertinya dia menjual sesuatu.
Penasaran aku memicingkan mata, berusaha memperjelas pandanganku. Tapi hasilnya nol. Minus yang diderita oleh mataku, membuatku tidak bisa melihat benda-benda yang jauh. Apalagi dihalangi juga oleh kaca jendela yang kabur karena embunan air hujan. Akhirnya aku memutuskan untuk turun.
Kuinjakkan kaki di tanah aspal. Celingukan mencari kondektur atau sopirnya. Kutemukan kondektur di persimpangan, belum juga berhenti berteriak. Sopirnya, kutemukan sedang duduk di sebuah warung kopi di sisi kiri jalan, di belakang bis. Aku melangkah mendekati pak sopir.
Nyuwun sewu (permisi), Pak!” sapaku. Si sopir itu yang tengah meniup kopinya, mendongakkan kepala mendengar sapaanku.
Inggih, Mbak? Wonten nopo (iya, Mbak? Ada ada?)?” tanyanya.
“Masih lama ya, Pak, berhentinya?”

 bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar