Selasa, Januari 08, 2013

Penjual Kacang & Sebuah Syukur

“Setengah hidupku belajar di bangku sekolah, 
belum kudapatkan pelajaran syukur seperti ini....
Dua puluh menit aku bersamanya,
aku sudah mendapatkan arti syukur yang berharga!”


Langit Jogja siang ini mendadak mendung. Padahal sejak pagi hingga beberapa menit yang lalu matahari masih bersinar dengan gagahnya. Gerah, itulah yang kurasakan. Sepertinya suhu sekitar naik karena mendung tiba-tiba ini. Katanya, hal itu karena tekanan udara yang meningkat yang disebabkan atmosfirnya tertutup awan, yang akhirnya juga menutup ruang gerak udara dari atas, makanya udara di bawah tidak leluasa untuk bergerak ke atas dan akhirnya dia mengalami titik jenuh yang di dalamnya mengandung molekul-molekul uap air sisa dari panas matahari. Kemudian uap itu tidak bisa bergerak ke aras karena tertahan si jenuh, ditambah lagi molekul keringat tubuh yang tidak bisa keluar karena tertahan si jenuh tadi. Jadinya, gerahlah yang dirasakan oleh tubuh kita.

Aku mengipaskan kertas yang ada di tanganku sambil menunggu bis jurusan terminar Semarang. Rencananya, hari ini aku ingin pergi ke tempat saudara laki-lakiku di Ambarawa. Mumpung ada waktu longgar selama di Jogja ini. Kalau ditanya ada keperluan apa kemari, aku akan menjawab ‘Aku sedang melarikan diri!’ yang berkedok perintah dari kantor untuk mendampingi selama Pameran di Jogja Expo Center ini. 

Jadwal di lembaran kertas yang tertempel di stand pameran tertulis bahwa hari ini dan esok tugasku untuk mendampingi akan digantikan oleh bapak-bapak berusia di ambang lima puluhan dengan kumis hitam yang jarang dan rambut kerap dicat tiap dua minggu sekali untuk menutupi tanda penuaannya. Aku tidak menyia-nyiakan keberadaanku di sini. Kalau tidak ada acara beginian, tidak mungkin aku bisa cabut dari kantor dan dari segala ‘hiruk pikuk’ di kampung halaman. Terima kasih kantor, telah memberikan kesempatan untuk melarikan diri. Setelah ijin dan berkemas, aku keluar dari tempat pameran ini pukul satu siang menuju terminal Bis Trans Jogja. Hanya menunggu sebentar, sepuluh menit kemudian bis yang kutunggu datang juga. Siap mengantar ke Terminal Bis besar.

Jeda.
Ambil nafas.
Hembuskan.

Bis yang kondekturnya meneriakkan terminal Semarang, belum juga kudapatkan. Aku masih berdiri di samping Terminal Giwangan, sengaja tidak masuk karena malas untuk menunggu lama lagi-lantaran bis di dalam selalu dalam kondisi tidak siap berangkat. Akhirnya setelah dua puluh menit kemudian, bis jurusan Semarang kulihat keluar dari terminal ini. Kondektur, dengan suara yang bersaing dengan deru mesin kendaraan bermotor. Hebat, pasti tidak pernah terkena radang tenggorokan.

Aku melambaikan tanganku. Perintah sederhana untuk memintanya berhenti. Dia berhenti lima puluh meter dari tempatku berdiri. Kebiasaan. Setelah menginjak gas sebegitu cepatnya, tiba-tiba harus me-rem  mendadak. Ya tidak bisa langsung berhenti. Ditambah lagi semua sopir dan kondektur bis itu penganut faham harus cepat biar dapat banyak setoran. Selalu saja menyuruh penumpang cepat-cepat naik, lalu begitu sudah naik, langsung berangkat meskipun si penumpang belum mendapatkan tempat duduk. 

Aku berlari kecil karena teriakan si kondektur. Untung hanya membawa tas ransel, jadi tidak perlu terlalu kerepotan dengan barang bawaan. Akhirnya naik juga. Benar saja, begitu semua kakiku sudah berada di tangga pertama pintu masuk bis ini, si sopir langsung menginjak gas. Membuatku hampir  terjengkang ke belakang. Untung aku sudah memegang besi yang tepasang di pintu bis. 

Hukum Fisika, benda diam akan cenderung diam, benda bergerak akan cenderung bergerak. Paham? Maksudnya, ketika kita dalam posisi bergerak ke depan atau belakang, lalu tiba-tiba diam, maka kita akan menyisakan sebuah gerakan ke arah depan atau ke belakang-cenderung untuk bergerak ke depan atau belakang. Begitu juga sebaliknya, saat kita dalam posisi diam, lalu tiba-tiba bergerak ke depan, maka kita akan meyisakan sebuah gerakan ke belakang-cenderung untuk diam. Apa? kau ingin mempraktekkannya? Silahkan!

Jeda.
Menarik nafas lagi lebih panjang.

Aku mendapat duduk di bangku nomor enam dari depan, sebelah kiri. Karena hanya kursi itu yang murni belum ada penghuninya. Ketika mengadakan perjalanan aku memang paling suka duduk dekat jendela. Apalagi kalau jendelanya bisa di buka. Selain bisa mengurangi mabuk perjalanan, aku bisa melihat segala hal yang kulewati.

Aku membuka tasku dan mengeluarkan sebuah walkman. Untung aku membawanya. Lumayan untuk menemani perjalanan yang kalau lancar, kuperkirakan memakan waktu tiga jam. Apalagi dalam bis yang miskin musik dan hanya mengandalkan pengamen jalanan yang suaranya kadang kalah dengan suara mesin bis ini sendiri. 

Sekejap saja, aku sudah berada di duniaku sendiri. Damai, dengan ditemani Geisha, SOS, Gigi, Rihanna, Miley. Tidak sekalipun menghiraukan sekitar. Tentu saja aku tidak lengah masalah tas. Aku mendekapnya. Selain baju dan uang, di dalamnya juga ada sekedar buah tangan untuk dua keponakanku. 

Ambarawa. Banyu Biru. Markas Tentara. Di sanalah saudara laki-lakiku tinggal bersama keluarga kecilnya. Bertugas dan meninggalkan kampung halaman lebih dari enam tahun. Dan kunjunganku kali ini adalah yang pertama. Pertama datang ke rumahnya sekaligus pertama menginjakkan kaki di sebuah tempat dimana terdapat banyak pria ‘berseragam’. Jujur saja, bukan hal yang cukup menyenangkan sebenarnya berada di tempat ini. Sejak lama aku tidak begitu suka pada laki-laki ‘berseragam’. Sedikitpun. Mungkin karena selama ini, yang kutemui adalah tentara-tentara atau polisi yang genit. Yang punya (maaf) ‘simpanan’ di mana-mana. Yang suka menggoda perempuan. Yang punya perut buncit. Ah, rasa terima kasihku pada mereka hanya sebatas karena mereka adalah pembela negara. Lebih dari itu... tidak.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar