Minggu, Januari 27, 2013

Sandal, Sepatu dan Sepotong Senyuman part. 3

 Sebelumnya yang pertama
 Sebelumnya yang kedua

"Ya... aku memang tidak terlalu dekat dengan kalian, tapi aku cukup tahu dan memperhatikan sepak terjang hubungan kalian. Meski hanya berlabel ‘sahabat’, tapi aku bisa melihat kalau hubungan kalian istimewa. Dan kehadiran Farah, cukup menggeser sedikit keistimewaan hubungan itu!” Rendra menjelaskan penilaiannya.
“Huh?” aku melenguh. “Itu hanya pikiranmu sendiri,” ucapku. Enggan rasanya membahas masalah ini. Keinginanku untuk tidak memikirkan mereka sepertinya harus ditunda.
“Tidak juga. Aku bisa merasakannya. Tapi, kamu harus tahu, se-istimewa apapun hubungan kalian, tetap saja komitmennya adalah ‘hanya bersahabat’, artinya kamu harus siap  dan bisa mengerti ketika Wisnu memutuskan untuk ‘jalan’ dengan perempuan lain. Bukan malah selalu menampakkan wajah sini tiap kalian bertiga bertemu.”
“Apa, sih yang kamu tahu tentang hubungan istimewa, Ren? Selama ini memangnya pernah kamu merasakan itu? Luntang-lantung ke sana kemari tanpa ada kejelasan. Sahabat perempuan tidak ada, apalagi pacar. Semua cuma numpang lewat dalam kehidupanmu. Jangan sok peduli pada hubunganku dengan Wisnu... dan jangan ikut campur!” ucapku emosi. Tidak ingin perasaanku dicampuri pihak luar.
Mendengar tanggapanku, Rendra hanya tersenyum simpul. Lalu bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar.
“Aku mau ke kantin dulu. Bersantailah di sini!” ucapnya sambil mengikat tali sepatunya.
Tiba-tiba rasa sesal menyelinap di hatiku. Aku sudah mengatakan hal yang menyakitkan pada laki-laki di depanku ini. Padahal, bisa dibilang kami sering berbincang dan tak jarang pemikirannya bisa membantuku keluar dari masalah. Sekarang, dia justru terkena imbas emosiku.
“Ren...!” panggilku. Rendra menghentikan aktivitasnya dan menoleh padaku.
“Ya?” ucapnya melihat aku justru terdiam setelah memanggilnya.
“Aku... Fiuffhh...!” Bukannya bicara, aku malah memotong kalimatku dengan helaan nafas. Rendra langsung mengerti. Dia melepaskan lagi sepatunya, lalu masuk dan duduk di sampingku. seperti posisi awalnya tadi.
“Kalau kamu butuh telinga, nih aku pinjamkan. Silahkan mencurahkan apa yang membebanimu!” ucapnya tersenyum dan memainkan kedua telinganya hingga bisa bergerak maju-mundur. Mau tidak mau aku tersenyum juga.
“Maaf... aku sudah mengatakan sesuatu yang menyinggungmu...”
“Ah, jangan dipikirkan! Santai saja. Seperti baru kenal kemarin saja!” katanya memotong ungkapan maafku. “Nah, apa yang membebani pikiranmu?”
“Mungkin kamu benar. Hubungan istimewa yang kujalin dengan Wisnu sudah terlalu lama, hingga membuatku merasa bahwa hanya aku yang pantas di sisinya. Aku merasa kalau aku yang paling mengerti dia. Aku yang paling tahu semua hal tentang dia. Aku lupa kalau dia juga butuh kehidupan lain. Bukan hanya teman, tapi dia juga butuh cinta. Aku melupakan itu.”
“Aku ingin dia bahagia. Tapi, alih-alih menginginkan hal itu, aku malah selalu sinis tiap dia mengenalkanku dengan perempuan lain. Meski tidak selalu perempuan itu menjadi kekasihnya. Aku selalu menunjukkan sikap yang tidak menyenangkan seolah aku tidak setuju dengan pilihannya.”
“Kehadiran Farah yang tiba-tiba membuatku merasa tersingkir. Aku tidak terbiasa ada perempuan lain yang tahu apa kesukaan Wisnu, bagaimana Wisnu, dan semua hal tentang Wisnu. Mengejutkan ketika aku  tahu bahwa aku bukan lagi orang pertama yang tahu tentang hal-hal yang dilakukan atau dialami oleh Wisnu. Bukan merasa tersaingi, hanya saja... aku belum siap kehilangan sahabat seperti Wisnu. Apakah ini cinta atau bukan, aku tidak tahu pasti. Apakah aku hanya menganggap Wisnu sebagai sahabat atau lebih, aku tidak yakin. Yang kutahu, aku tidak ingin Wisnu menyingkirkanku.”
Tumpah sudah apa yang kurasakan selama ini. Lancar, tak terkendali. Seolah seperti air yang meluap. Aku tidak menangis atau mengharu biru seperti dalam sinetron. Meski suaraku terdengar berat. Huh, air mata yang tak keluar dan tangisan yang bisu itu sungguh lebih menyakitkan dibanding bisa meneriakkannya lantang-lantang. Benar saja, dalam dada yang tadinya terasa sangat menyesakkan, sekarang sudah terasa longgar. Seperti ada yang mengambil separuh bebannya.
Rendra mendengarkan setiap kalimatku dengan tenang. Tidak ada celotehan yang memotong ucapanku seperti yang biasa dilakukan saat kami bercanda. Dia tahu situasinya serius. Siaga satu. Satu-satunya yang kudengar dari mulutnya adalah desahan nafas panjang dan berat. Lalu disambung dengan geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Hm... sepertinya masalahmu benar-benar serius, ya?” ucapnya sambil mengusap dagunya. Berlagak seperti detektif yang tengah memikirkan pemecahan sebuah kasus.
“Sudahlah, aku sendiri heran, kenapa aku malah cerita sama kamu,” ucapku sambil memencet remote di tanganku. Entah mau mencari acara yang seperti apa.
“Maaf, maaf... “ ucapnya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu. Karena akupun pernah mengalaminya. Tidak selama kalian, sih bersahabatnya, tapi cukup membuatku merasakan tidak menyenangkannya kehilangan.”
Aku tidak mengalihkan pandanganku dari televisi. Sama dengan yang kulakukan tadi.
“Aku tidak punya hak memberi saran untukmu, tapi mungkin aku bisa mengatakan beberapa hal. Dan semoga saja bisa sedikit mambantumu.”
Akhirnya aku menoleh dan menyimak ucapannya kemudian.
“Sahabat itu, menurutku seperti sandal. Sedangkan pacar atau kekasih, itu lebih seperti sepatu. Layaknya sepatu, mereka memang ada untuk diperlihatkan pada khalayak. Untuk dibawa ke muka umum. Tapi, saat kita inginkan kenyamanan, santai tanpa harus jaga wibawa, dan ingin menjadi diri sendiri, kita akan lebih memilih sandal. Iya, kan?”
“Aku yakin, kok, Wisnu tidak akan meninggalkanmu. Tapi, saat ini dia juga tidak bisa meninggalkan Farah. Jadi, jangan memaksanya memilih.”
“Aku tidak memaksanya memilih, Ren,” ucapku membela diri.
“Maaf, ya... tapi, sikapmu yang seperti itu, secara tidak langsung sama dengan menyuruhnya memilih antara kamu atau dia,” jelas Rendra.
“Dengar, Ras, tidak ada yang salah dengan menjadi sahabat, kan? Aku yakin tempatmu di hati Wisnu lebih besar dibanding pacar-pacarnya. Jangan sampai itu tergeser hanya karena kamu bersikap seperti ini. Bergaulah dengan gadis yang dipilih menjadi kekasihnya. Kenali mereka, agar kamu bisa memberi penilaian yang objektif. Aku tebak, Wisnu masih datang padamu, kan untuk menanyakan pendapatmu tentang pacar-pacarnya?” Aku mengangguk.
“Dan... apapun yang kamu katakan, dia biasanya akan langsung berpikir untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan hubungannya, iya kan?”
“Kebanyakan seperti itu,” jawabku.
“Bukan kebanyakan, tapi memang seperti itu. Bukankah itu tanda bahwa dia ingin kamu tetap menjadi bagian dari dirinya. Agar kamu tetap merasa nyaman dan tidak merasa tersingkir. Hargailah usahanya, Teman! Aku ini laki-laki, bagi kami, sahabat adalah segalanya. Lebih penting daripada sekedar pacar, orang yang baru datang dalam hidup kami. Begitupun yang dirasakan Wisnu.”
Benarkah begitu?
“Lalu, aku harus bagaimana?”
“Tersenyumlah. Padanya... dan pada kekasihnya... atau siapapun orang yang dekat dengannya. Berilah semangat dan dukunganmu buatnya. Dengan selalu ada untuknya, lambat dia akan tahu bahwa kamu itu lebih dari istimewa.”
“Laki-laki itu tidak butuh perempuan yang cantik, seksi dengan dandanan yang aduhai, kok. Ya, tidak dipungkiri bahwa kamu suka dengan perempuan model begitu. Tapi, hanya untuk jalan-jalan, nonton, atau sekedar jaga gengsi. Tapi...” Rendra menekankan kata ‘tapi’. “saat mereka butuh sosok yang lebih dari itu, mereka akan mencari perempuan yang bisa membuatnya nyaman, tenang, dan bisa membuat mereka menjadi dirinya sendiri. Sosok calon ibu yang ideal untuk membangun keluarga dan anak-anak mereka nanti. Percaya, deh!”
“Sebuah sandal, hah?” aku tersenyum mengejek.
“Hahaha... ya, ya... sebuah sandal. Tapi, sebuah sandal yang berharga. Sama berharganya dengan sepotong senyuman.”
“Fiuffh...” Aku menghela nafas lagi. “Tak kusangka bicara denganmu bisa membawa kelegaan seperti ini, ya.”
“Hei, makanya jangan suka menilai orang dari luarnya saja. Penampilan boleh acak-acakan begini, tapi hatiku itu paling sensitif dan peka pada lingkungan.”
“Hahaha... ya, bungkus, deh!” jawabku sambil tertawa. “Ehm, tapi apa kau yakin, dia... maksudku Wisnu memang mengharapkan aku, sahabatnya ini berada di sampingnya?”
“Aku, sih tidak yakin seratus persen. Karena perasaan manusia tidak ada yang bisa tahu, kan? Tapi, selama ini yang kutahu kalau pergi dengan pacarnya, Wisnu tidak pernah pergi jauh. Maksudnya, perginya itu selalu yang dekat-dekat sini, atau mudah kamu jangkau.”
“Hah? Apa hubungannya dengan itu?”
“Supaya ketika kamu berubah pikiran, dan ingin menyusulnya, kamu tidak akan kesulitan.” Aku memandang Rendra tak percaya. “Sekarang kamu tahu, kan.. Yang menjadikan kamu jauh darinya adalah dirimu sendiri. Kamu yang membuat benteng itu sendiri. Kamu... yang melahirkan anggapan itu, Ras. Wisnu selalu berusaha mendekatkan kamu dengan kekasihnya, bukan hanya agar kamu tidak merasa tersingkir, melainkan agar dia tidak kehilangan sahabat terbaiknya.”
Aku takjub dengan apa yang dikatakan Rendra. Dia bisa berpikir sejauh itu? Atau jangan-jangan hanya perasaannya saja, ya?
“Eh, tapi darimana kamu tahu itu semua? Bukan cuma perkiraanmu saja, kan?”
“Siapa dulu... Rendra!!” jawabnya sambil menepuk dadanya.
“Serius, Ndra!” ucapku sambil melotot.
“Hehehe... “ Rendra meringis. “Tahu, tidak? Selama kamu menjauh dari Wisnu, dia kan jadi tidak punya teman berbagi cerita. Nah, di situlah keberadaan Syailendra Wibisono sangat berguna,” ucapnya lagi. Nama yang disebutnya itu adalah namanya sendiri. “Dia datang kemari, sepertimu begini, menceritakan keadaan hatinya, sepertimu juga, lalu.... kami jadi dekat!” lanjutnya.
Aku manggut-manggut menyetujui ceritanya. Apapun itu, benar atau tidak, sedikitnya aku bisa tenang. Dan sekarang aku akan menghampirinya sebagai sahabat. Tidak apa, kan?
Aku bangkit, setengah tergesa aku memakai sepatuku.
“Lho, mau kemana?”
“Mengirim sepotong senyuman!” jawabku singkat sambil mengikat tali sepatuku.
“Hmm, jadi aku ditinggal, nih setelah diganggu ketenanganku?”
Aku tersenyum sambil memandangnya, “Sandal itu... tidak perlu dibawa keluar. Tunggu sini saja, ya!”
“Hei... Dasar!” ucapnya sambil melemparku dengan bongkahan kertas. Lalu kami tertawa bersamaan. “Good luck, ya! Berikan senyuman paling tulusmu, agar dia tahu kamu selalu ada buatnya!”
Aku mengacungkan jempol, kemudian berlalu pergi. Setengah berlari menyusul ‘sandalku’ yang tengah bersama ‘sepatunya’. Siapa tahu, dia butuh kenyamanan.

Rendra memandang Laras yang berlari makin jauh. Tersenyum penuh arti.
Yah, mungkin saat ini, aku lebih baik menjadi ‘sandalmu’ dulu. Tapi, aku akan berusaha lebih keras hingga suatu hari nanti, aku bisa menjadi ‘sepatu’ sekaligus ‘sandal’ bagimu, Ras!
Rendrapun, mematikan televisinya lalu melangkah menuju kantin.

End

Jumat, Januari 18, 2013

Sandal, Sepatu dan Sepotong Senyum part.2


Sebelumnya di sini

Wisnu memang layak mendapatkan yang terbaik. Dia baik, cerdas dan ehm, tampan. Populer di kampus atau di manapun dia menginjakkan kaki. Entah karena wajah tampannya, penampilannya, atau pembawaanya yang selalu menyenangkan. Semua orang menyukainya. Itulah Wisnu.
Dulu, banyak perempuan yang memandang aneh dan iri pada kedekatanku dengan Wisnu. Bagaimana tidak, dibandingkan dengan banyaknya gadis-gadis yang mendekati Wisnu, aku tidak ada apa-apanya. Tubuhku kurus dengan tinggi hanya seratus lima puluh sembilan sentimeter, rambut yang lebih sering bau matahari selalu kukuncir kuda, kulitku juga hanya sebatas sawo matang. Dan pada wajah, tidak ada yang bisa dibanggakan. Sebenarnya ada. Mata. Wisnu selalu mengatakan mataku indah. Hitam dan ketajamannya menandakan kalau aku cerdas. Ya, terima kasih!
Euforia langsung terjadi ketika kedekatan kami yang hanya sebagai teman, diproklamirkan di depan penghuni kantin sekolah¾saat itu kami masih SMA¾pada suatu siang. Tak terkira beberapa perempuan yang awalnya sinis dan tak mau menyapaku, seketika berubah haluan menjadi bidadari yang sangat baik padaku. Tentu saja hal itu hanya kamuflase. Mendekati sahabatnya untuk mendapatkan si pangeran. Kalau dalam bidak catur, itu namanya tak-tik kuda. Kau tahu, kan jalannya kuda? Dia berjalan dengan membentuk siluet huruf ‘L’¾artinya tidak langsung ke sasaran, melainkan belok dulu untuk menangkap sasaran sesungguhnya.
Sejak itu, aku berganti peran menjadi kotak pos buatnya. Tiap hari ada saja perempuan entah darimana, yang mengirimkan surat cinta padanya. Aku, tukang pos, juga merangkap menjadi lembaga sensor. Wisnu menyuruhku membaca setiap surat yang masuk. Dan semua terus berlangsung sampai di bangku kuliah. Di bangku kuliah, para perempuan lebih agresif, ‘nakal’, dan kreatif. Aku baru ‘dipecat’ dari tugasku setahun yang lalu, tepat saat Wisnu menyatakan Farah sebagai kekasihnya.
Aku melangkah menuju ruang himpunan Teknik Industri yang terletak di samping kantin kampus. Berjarak kurang lebih seratus meter dari gedung kuliahku, menjadi tempat favorit anak-anak himpunan untuk beristirahat sejenak, sebelum kelas berikutnya.
Ruang tidak besar, hanya berukuran 3 x 4 m, dengan korden warna biru tua yang hampir tidak pernah diganti, lantainya dilapisi karpet berharga murah dengan warna yang sama dengan kordennya. Temboknya-pun unik. Wallpaper ala anak himpunan. Alih-alih tidak bisa membeli wallpaper yang harganya mahal, kami menutup tembok-tembok yang catnya mulai mengelupas dengan poster-poster ukuran 20R. Mulai dari Angelina Jolie, Marlyn Monroe, Ferari sampai Julia Perez. Disamping mereka tidak lupa ditempelkan jadwal pembersihan ruang himpunan, jadwal undangan, dan data inventaris¾kalau-kalau benda-benda yang bermukim di dalam sini ada yang beralih tempat.
Di sana ada televisi tabung berukuran empat belas inch, dispenser, komputer model tabung pentium tiga yang loading nya sudah lambat seperti kura-kura, radio, keranjang kecil susun dua yang berisi gula pasir, kopi bubuk, teh celup, krimer, tiga buah gelas, piring kecil dan enam buah sendok.
“Lho, Ras... Tumben kemari? Tidak ada kuliah?” sapa Rendra saat aku muncul di depan pintu ruang himpunan. Aku menggeleng. Rendra adalah salah satu anggota himpunan yang paling setia pada almamaternya. Dia dua tahun di atasku, dan harusnya sudah pensiun sebagai anak himpunan. Tapi, dia masih dengan rajinnya mengunjungi tempat yang baginya adalah rumah kedua ini.
Dengan mengedikkan bahu tanpa menjawab, aku melepaskan sepatuku dan duduk di sampingnya. Remote televisi yang dipegangnya, langsung aku raih dan mulai kupencet-pencet. Mencari saluran televisi yang menarik. Rendra hanya menggelengkan kepala.
“Mana Wisnu?” tanyanya, sambil mengambilkan sebotol air mineral untukku. Mungkin dari wajahku kelihatan kumal dan butuh disiram.
“Pergi sama Farah,” jawabku singkat sambil menerima air mineral itu.
“Kok tidak ikut?”
“Memangnya aku pengasuhnya, kemana-mana harus ikut,” jawabku tanpa memalingkan muka dari siaran televisi yang sebenarnya tidak terlalu bagus.
“Ya... Siapa tahu? Dulu, kan kemana-mana kalian selalu sama-sama, jadi kupikir...” Rendra diam sebentar. Lalu berucap kembali, “Kalian berubah.” Satu kalimat yang bisa membuatku menoleh padanya sambil menyipitkan mata, cukup sebagai tanda bahwa aku tidak mengerti dan mohon dijelaskan apa maksudnya.
“Iya, hubungan kalian berubah. Kamu dan Wisnu,” lanjutnya, memperjelas maksudnya.
Aku kembali mengarahkan pandanganku kembali ke layar televisi yang tengah menampilkan sebuah iklan kartu seluler. “Hubungan apa? Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih bersahabat.”
“Benarkah? Mungkin dari secara kasat mata tidak kelihatan ada yang berubah, tapi kalau tahu keseharian kalian, pasti setuju dengan pendapatku,” jawabnya sambil menguncir rambut gondrongnya. Sepertinya agak mengganggu memang. Entah karena shampo yang tidak cocok atau dia memang enggan merawatnya, rambut itu serasa ‘mati’.
“Jangan sok tahu!” jawabku.

bersambung... 

Kamis, Januari 17, 2013

Rasa ini... 10 tahun lalu muncul

Benarkah aku masih menyukainya?
Seorang teman lama mengatakan bahwa aku masih menyukai sampai saat ini. Saat aku bertanya, "bagaimana kau tahu kalau aku menyukainya?"
Bahkan aku tak pernah telihat dekat dengannya. 
Bahkan aku tak pernah terlihat malu-malu bisa melihatnya.
Bahkan suara terdengar datar bila mengucap namanya.
Bahkan.... bahkan... 

Lalu dia menjawab, "Dari matamu, Sayang. Mata tak pernah bohong. Perasaan itu tak perlu diucapkan dengan kata atau 'status'. Cukup pancaran mata yang diperlihatkan saat kau menatapnya. Secara langsung...atau diam-diam."

Dia juga menambahkan, bahwa dia sangat yakin jika aku masih menyukai lelaki itu. Definitely, even 'till now. 
 
Aku bertanya lagi, "Bagaimana dia bisa yakin begitu? Aku hanya setahun sekelas dengan lelaki itu. 10 Tahun sudah berlalu, dan aku tak pernah bertemu dengannya. Bagaimana dia bisa yakin aku masih menyimpan perasaan itu?"
 
Jawabnya adalah, "Walaupun kadang waktu itu suka memanipulasi hati, tapi jika itu cinta sejati, selama akan selalu ada, walaupun tidak tersampaikan, tapi selalu tersimpan rapi di sudut hati. Terus berdoa, terus pantaskan diri,InsyaAllah Allah akan mengijabahi doamu. Tapi, bila hal itu tidak terjadi, Ikhlas adalah hal yang mulia."
 
aku tersenyum mendengarnya. Kalimat bijak yang keluar dari mulutnya. Dia, yang aku anggap slengekan, gokil, 'semena-mena'-_-", namun baik hati, bisa juga berkata demikian. 
 
Ya, mungkin benar juga rasa itu masih ada untuknya. Namun, aku sudah berusaha mengikhlaskannya, jauh sebelum temanku ini menasehatiku. Aku sudah mengusahakannya setelah aku mengenal kekasih lelaki itu. 
Aku tahu dia tak pernah salah memilih. Perempuan itu, perempuan yang baik. Luar biasa, menurutku.
 
Hati ini, aku tak tahu kini mengarah pada siapa. Kelak berlabuh dimana, akupun tak tahu. Aku sungguh mati rasa. Bukan karena trauma, atau apapun. Aku hanya sudah mulai menitipkan hati ini pada Yang Maha Mencintai. Hingga suatu hari nanti Dia akan mengembalikan hati ini, saat Dia yakin aku telah siap. 
 
Aku menunggu saat itu.  

Sandal, Sepatu dan Sepotong Senyuman

Sambil menuruni tangga gedung Fakultas Teknik, mataku menangkap sosok yang sudah sangat kukenal. Bahkan ibarat kata dengan memejamkan mata saja, aku tahu bahwa itu dia. Ya, dia... sahabat separuh hidupku. Karena aku mengenalnya sejak lahir. Sejak dalam kandungan, mungkin. Ibuku dan ibunya adalah sahabat juga. Yang entah disengaja atau tidak, menikah dan hamil hampir dalam waktu yang bersamaan. Otomatis, waktu kelahiran kami-pun hampir bersamaan. Aku hanya lebih tua tiga minggu darinya.
Rumah kami berhadapan. Sejak taman kanak-kanak hingga sekolah menengah umum, kami tak pernah pisah. Selalu bersama. Bahkan saat menjadi mahasiswa seperti sekarang ini, kami masih saja sama-sama. Hanya saja berbeda jurusan. Aku mengambil Teknik Industri, sedangkan dia mengambil Teknik Mesin. Hubungan kami istimewa, melebihi sepasang kekasih. Sederhana, tapi menyenangkan. Aku melihat sahabatku, Wisnu dengan kekasihnya, Farah.
Farah... Ah, pemilik nama itu yang membuatku sedikit merasa ‘tersingkir’ dari kehidupan Wisnu. Aku dan Wisnu selalu bersama kemanapun, sampai setahun yang lalu. Saat Wisnu mengatakan sesuatu yang membuat kepalaku mendadak pusing. Dia tengah berkencan dengan seorang adik tingkat dari jurusan Teknik Informatika. Wisnu menceritakan dengan mata berbinar, bagaimana ospek kampus telah berjasa mempertemukan mereka. Betapa bersyukurnya dia karena pilihannya untuk hadir sebagai perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa, ternyata membuahkan hasil yang manis.
Hubungan kami benar-benar berubah sejak itu.Tak ada lagi kebiasaan kumpul bersama, jalan juga lebih sering masing-masing. Seakan aku bertransformasi menjadi nomer dua sekarang. Atau memang benar begitu?
Apa? Itu karena aku mencintai Wisnu?
Ah, sebelum kesalahpahaman ini meluas, aku ingin memastikan satu hal. Perasaanku pada Wisnu adalah murni perasaan seorang sahabat. Kalaupun ada rasa jengkel ketika dia berjalan atau menjalin hubungan dengan perempuan lain, itu karena tiba-tiba aku merasa tersisih. Dan akhirnya, aku hanya menjadi orang kesekian yang mengetahui hal-hal baru tentang Wisnu. Mendadak perutku terasa mulas memikirkan hal itu. yang pasti perasaanku mengatakan, aku tidak mencintai Wisnu melebihi apa yang seharusnya.
Saat melihat Wisnu melangkah ke arah dengan senyum khasnya dan rangkulan tangan di bahu Farah, rasa jengkelku kembali muncul.
“Hei, Ras!” sapa Wisnu. Aku menyeringai. Kelihatan aneh, sepertinya. Tapi, aku tidak bisa berpura-pura tersenyum tulus saat melihat kegembiraannya dengan pacarnya itu. Tiba-tiba aku merasa lelah.
“Mau kemana?” tanyaku malas. Aku tidak menoleh sama sekali pada Farah. Aku tidak peduli apakah dia tersinggung dengan tingkahku yang tidak mempedulikannya. Sekali lagi, aku bukan orang yang bisa berpura-pura pada sesuatu yang ‘tidak kusukai’.
“Cari buku. Ikut, yuk!” ajak Wisnu sambil melepaskan rangkulannya pada Faras.
Aku menggeleng cepat. “Aku mau tidur saja sebentar, sebelum kelas berikutnya.”
“Ayolah, Ras. Daripada tidur, lebih baik kita keluar saja. Sekalian cari makan.” Farah ikut membujukku. Aku menggeleng malas. “Wah, padahal pasti akan menyenangkan kalau kamu ikut.”
“Kalian pergi saja! Lagipula, panas-panas begini lebih baik kubuat tidur!” jawabku lagi. Tetap menolak. Jangan sok simpati padaku! Menyenangkan mungkin buatmu, melihatku jengah berada di antara kemesraan kalian. Oh oh, Tidak, terima kasih!
“Baiklah, kalau begitu kami pergi duluan. Kamu mau titip sesuatu?” tanya Wisnu. Aku menggeleng lagi. Kulihat Wisnu sedikit menghela nafas kecewa. Atau hanya perasaanku saja, ya? Entahlah. “Ya sudah, kami tinggal dulu, ya! Kalau nanti berubah pikiran dan menyusul, kami pergi ke pusat pertokoan di ujung jalan ini,” lanjut Wisnu, lalu melangkah pergi saat aku mengangguk pelan. 
Bagiku tidak perlu berpikir dua kali untuk menolak setiap ajakanmu, jika itu artinya aku harus bercengkerama dengan dia, kekasihmu itu. Aku mengenal Wisnu dengan sangat baik. Dia pasti sudah tahu-atau paling tidak merasakan-bahwa aku tidak pernah suka pada kekasihnya yang bentuknya seperti model itu. Bicara tentang tubuhnya, kulitnya seputih pualam, rambut hitam memanjang terawat, dan tubuh semampai. Itu masih tubuhnya. Beralih pada area wajah, hidungnya yang mancung, bibir mungil dan mata bulat yang mempesona.

Bersambung...