Sabtu, Januari 05, 2013

Antara Lelakiku dan Perempuanku


“Aku akan menikah!” ucapku melalui sambungan telepon. Lima menit jeda yang terjadi. Terasa lama. Cukup lama hingga aku mengulang kembali ucapanku, “Aku akan menikah, Kak.”
Lirih, terdengar tanya dari seberang, “Kau yakin?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku tidak bisa berkata apa-apa selain.... “ Suara itu menggantung sekian detik. “...selamat.”
“Datanglah, Kak,” pintaku.
“Aku tidak janji.”
“Kumohon! Aku akan mengirimkan tiketnya besok.” Lagi-lagi ada jeda diantara pinta dan persetujuan itu. Aku menunggu. “Kumohon, Kak. Aku butuh kehadiranmu,” pintaku penuh pengharapan. Aku memang butuh dia. Dia, penyemangatku−sejak dulu.
Ada helaan nafas panjang dari seberang. Lalu, terdengar sebuah jawaban, “Baiklah. Aku akan datang.”
“Terima kasih, Kak.” Aku tak tahu lagi apa yang harus kubicarakan. Jujur, ini pertama kalinya aku canggung bicara dengannya. Padahal selama ini, setiap telepon kami tak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Karena itu, kecanggungan ini harus segera aku akhiri. “Kalau begitu, aku tutup teleponnya, Kak. Sekali lagi, terima kasih. Sampai jumpa tiga minggu lagi.”
Rasa berat itu mendadak berkurang. Hanya sedikit. Namun, cukup membuatku bernafas lebih ringan. Dulu, kukira berita seperti ini akan membuatnya bahagia. Dan aku akan menyampaikannya dengan ceria pula. Tapi, tak kusangka akan terasa berat bicara dengannya. Aku hanya berharap dia mau mengerti. 
-----------------------
“Lintaaaang!!!” Sebuah suara memanggilku dari bawah. Aku menuruni tangga dengan setengah berlari. Mengingat yang memanggilku adalah ibu. Aku tak ingin membuatnya menunggu.
Sambil mengatur nafasku, aku menjawab, “Ya, Bu?”
Ibu membentangkan tangannya di hadapanku. Ujung-ujung jarinya memegang sebuah gaun kebaya. Cantik sekali. Warnanya putih bersih dengan kombinasi bordir merah marun dan silver. Dengan leher turtleneck dan menjuntai panjang hingga lutut. Aku tak perlu bertanya untuk apa kebaya itu. Aku tahu pasti kapan ‘dia’ akan digunakan.
Tapi, toh aku menanyakannya juga. “Itu... untuk apa, Bu?”
Ibu menempelkan kebaya itu pada tubuhku sambil berkata gemas, “Ya ampun, Lintang... Tentu saja ini untuk akadmu nanti. Begitu saja kau tanyakan.”
 Aku diam saja. Aku bukannya tidak tahu, Ibu... aku hanya menanyakan sebuah pertanyaan basi. Mungkin dengan begitu, Ibu akan lebih bergairah menyiapkan semuanya. Aku hanya menurut. Bahkan ketika Ibu menyuruhku berbalik dan menempelkan kebaya itu di punggungku, aku menurut.
Seorang perempuan separuh baya bertubuh tambun, dengan pipi tembem, dan rambut disanggul kecil, berteriak riang, “Duh, cantiknya. Sudah kubilang, kan, Lintang pasti cocok sekali dengan kebaya buatanku ini.”
Perempuan berusia awal lima puluhan menjawab tak mau kalah, “Itu masih belum seberapa, Mbakyu. Lihat saja nanti, begitu sudah kena sentuhan riasanku, pasti tambah ayu.”
Ibu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. “Lintang akan menjadi pengantin paling cantik,” puji Ibu sambil memeluk pundakku. Lagi-lagi aku hanya menyambutnya dengan senyuman.
Setelah dirasa tidak ada lagi yang diperlukan Ibu denganku, aku permisi keluar. Ibu mengijinkan. Beliau tengah sibuk dengan ibu-ibu paruh baya lainnya menyiapkan semua ‘amunisi’ yang diperlukan untuk acara seminggu lagi. Sepertinya, beliau dan beberapa kerabat serta teman-temannya lebih antusias dibandingkan aku sendiri, sang calon mempelai.
Aku melangkah keluar. Anak-anak kecil berlarian di halaman depan rumah. Sebagian dari mereka adalah keponakanku. Sebagian lagi adalah anak-anak tetangga di samping kiri-kanan rumah. Melihat polosnya mereka, aku sejenak iri. Aku pernah mengalami fase dimana aku berlarian tanpa beban seperti mereka. Aku pernah menjadi seperti mereka, yang tersenyum tanpa ada perasaan terpaksa. 
Seorang anak berkepang dua menghampiriku. Dia tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang putih dan berbaris rapi, seraya menyapa, “Mbak Lintang, main sama kita, yuk. Daripada bersedih.”
Sejenak aku terperanjat dengan ucapannya. Tubuhnya yang kecil membuatku harus berjongkok untuk mendekatkan wajahku pada wajahnya. “Kok, Aya bisa bilang Mbak sedang bersedih, sih?” tanyaku.
Aya, anak kecil berusia enam tahun itu dengan ringan menjawab, “Mata Mbak Lintang sedang menangis.”
“Hahahaha.” Aku memaksakan tawa. “Mana mungkin, Aya. Lihat, tidak ada air matanya, kan?” lanjutku sambil mengusap-usap mataku. Menunjukkan kalau tidak ada air mata yang keluar di sana.
Mulut Aya menyunggingkan sebuah senyum. Aku tak tahu artinya. Lalu dia menarik tanganku. Mengajakku menuju sebuah ayunan yang terdiam sendiri. Tak ada anak-anak yang bermain di situ.
Kukira, Aya menyuruhku mendorong ayunannya. Tapi salah. Aya justru memintaku untuk duduk. Lalu dia beranjak ke belakangku dan mulai mendorong ayunan yang sudah kududuki.
Tentu saja tubuhnya yang kecil tidak kuat mendorongku. Karena itu, kakiku yang menapak tanah−membantunya− mendorong. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Hanya diam yang menjawab ketidakmengertianku.
Kala aku sibuk mengernyitkan kening, mendadak Aya berkata, “Aya cuma merasa, Mbak Lintang tidak bahagia. Meskipun menebar senyum di sana-sini, mata Mbak Lintang melengkungnya ke bawah. Itu tanda seseorang sedang sedih hatinya, Mbak.”

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar