Rabu, Januari 02, 2013

Pengingat Mati


Siang yang terik. Matahari kiranya tak bersahabat hari ini. Membakar setiap kepala yang tak terlindung. Ah, untung aku mengenakan jilbab, batinku sambil membenarkan bentuk jilbabku ini. Aku lebih suka memakai jilbab instan dibandingkan jilbab kain yang sekarang sedang tren atau kain segi empat layaknya jilbab yang sering dipakai. Karena jilbab instan menurutku lebih praktis bagi perempuan yang bekerja di lapangan seperti aku. Ya, walaupun kadang ingin juga tampil cantik dengan jilbab yang anggun.

Sepanjang jalan menuju kantor tadi, aku melihat banyak penjual es, mulai es kelapa hijau, es dawet ayu, es buah rumput laut, dan beberapa gerobak es lagi yang tidak berjudul. Dan semuanya tidak ada yang sepi. Sungguh, kadang Matahari yang sedang bersemangat, justru mendatangkan rejeki bagi sebagian orang. Allah memang Maha Pemberi. 

Aku mengusap peluh yang berlelehan di keningku. Siang ini, aku baru sampai di kantor pukul setengah satu siang. Dari tadi pagi, bersama teman sekantor yang sudah seperti saudara sendiri, Elok, aku berkeliling dari satu industri kecil ke industri kecil yang lain. Biasa, tugas penyuluhan. Sinar matahari yang menyengat tidak kami gubris, demi amanah yang sudah diberikan sejak pertama kami menginjakkan kaki di kantor ini. Setiap menuju industri yang satu, kami singgah dulu sebentar di warung hanya untuk membeli segelas minuman dingin semi dahaga kami. Total, sampai pukul setengah satu ini, kami sudah habis tiga gelas es teh.

Setelah meletakkan tas di ruangan, aku bergegas menuju mushola yang terletak di belakang kantor. Di sana sudah ada beberapa bapak yang juga bekerja di kantor ini, tengah duduk bersantai. Aura mushola kecil ini memang menyejukkan. Selalu menenangkan saat berada di gubuk Allah, bukan? 

Aku duduk sambil melepas sepatuku, ketika Pak Rizal, Sekretaris kantorku, menanyaiku, “Darimana, Mbak?”

“Dari industri kecil, Pak,” jawabku singkat. 

“Yang di kaki gunung Semeru itu?” tanyanya lagi.

“Iya, Pak,” jawabku sambil mengangguk. 

“Panas-panas begini?” sahut Pak Aziz, Kepala salah satu bidang di tempat kerjaku.

“Ya, namanya juga tugas, Pak. Mau panas, mau hujan, kalau masih mampu, ya harus berangkat. Biar tidak makan gaji buta,” jawabku lagi. Entah itu menyinggung atau tidak. Yang pasti sedikit membuat raut muka beberapa bapak berubah. Maaf, ya, benar-benar tidak ada maksud sama sekali.

“Memangnya mengurusi apa lagi, Nan?” tanya Pak Joko, Bapak bertubuh gendut yang mengenalku sejak aku kecil, hingga hanya memanggilku dengan sebutan nama, tanpa embel-embel “Mbak” atau “Dek” seperti beberapa orang. Ya, ya, sebagai informasi saja, aku paling muda di kantor ini. Dan tujuh puluh persen pegawai di sini adalah seusia bapakku, bahkan di antaranya pernah jadi teman kerja bapakku.  

“Pendampingan untuk pengajuan proposal pinjaman dana, Pak,” jawabku, yang disambut anggukan dari beberapa orang lainnya. “Saya sholat dulu, ya, Pak,” pamitku, sebelum diajak bicara lebih banyak lagi, lalu berjalan menuju tempat wudhu.

Subhanallah, air wudhu ini sungguh ajaib. Mendinginkan. Bukan hanya bagian luar, bagian dalam-pun ikut terdinginkan. Menurutku, sih, bukan karena jenis airnya atau asalnya, melainkan karena ini adalah wudhu. Ketika “nawaitul wudhuu-a lirof’il hadatsil ashghori fardhon lillaahi ta’aalaa” terucap sebagai niat berwudhu, maka air apapun langsung berubah, bermutasi menjadi air paling sejuk, paling sehat, dan paling menenangkan. Seakan bagian tubuh ini langsung bersih. Telapak tangan, mulut, lubang hidung, wajah, tangan, kepala, telinga, tengkuk, dan kaki terasa dingin dan penat seakan mengabur pergi.

Setelah wudhu, aku meminjam mukena yang ada di mushola, mengenakan dan mulai melaksanakan sholat dhuhur. Sungguh, sholat dhuhur membuat rasa lelah, panas, dan kesal hilang seketika. Banyak hal yang bisa disyukur sejak bangun tidur hingga dhuhur ini. Banyak sekali, nyaris tak bisa disebut dalam sekali sholat. Yang paling nyata adalah kesehatan dan keselamatan yang sudah Allah berikan cuma-cuma. Terima kasih, Alhamdulillah.

Selesai sholat, aku bersantai sejenak dengan bapak-bapak di teras mushola. Sudah berkurang, sih, tidak sebanyak tadi. Baru duduk sekitar lima menit, Elok datang menghampiri. Memberika kabar duka. Ayah dari salah satu teman kantorku meninggal dunia. Sakit. 

Beberapa dari kami memutuskan untuk langsung berangkat ke rumah duka. Beberapa lagi harus tetap di kantor untuk menunggu sampai jam pulang. Tentu saja aku dan Elok termasuk yang langsung berangkat. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kilometer saja. Jadi, tidak sampai setengah jam, kami sudah sampai di tempat tujuan.

Bersambung.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar