Kamis, Januari 03, 2013

Pengingat Mati eps.2

 Sebelumnya di sini

Di sana, sudah banyak kerabat dari almarhum yang hadir. Tangis isak saling bersahutan. Teman kantor kami yang bernama bu Nunuk, menyambut kedatangan kami dengan matanya yang sembab. Kami mengucapkan bela sungkawa bergantian. Aku memeluknya dan mendoakan semoga amal ibadah almarhum diterima Allah dan diberikan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kalimat umum yang biasa diucapkan oleh kebanyakan orang jika datang ke pemakaman. Namun, apa yang kami ucapkan memang benar-benar sesuai dengan harapan kami. Semoga.

Bu Nunuk mempersilahkan kami masuk. Dan sungguh kaget diri ini ketika aku melihat masih ada keranda di dalam ruang tamu itu. Karena begitu mendapat kabar kami langsung berangkat, maka sudah pasti jenazahnya belum dikebumikan. Kami duduk di ruangan bersama dengan keranda yang tentunya berisi jenazah seorang manusia. 

Ada perasaan yang tidak menentu dalam hatiku. Campur aduk. Bukan karena ada keranda dan jenazah di dekatku. Tapi lebih karena mengingat bahwa suatu hari aku juga akan berada pada posisi itu. Perasaan yang tiba-tiba hadir itu, menggetarkanku. Melahirkan rasa takut dalam diriku. Ya, suatu hari aku juga akan meninggal. Entah kapan, hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan takut itu hadir, manakala bekal untuk menghadap Sang Maha Pemberi Hidup belumlah cukup. Sangat kurang malah. Ya Rabb, Astaghfirullahal ‘azhiim. Mendadak, mataku panas. Aku menahan lelehan magma air mataku agar tak keluar dari gunung mata ini. 

Aku takut, Ya Rabb. Sungguh takut, hanya dengan melihat keranda ini. Keranda yang ada bunganya dan bertuliskan Lafadz-Mu. Laa Ilaaha illaallah. Keranda yang berisi jenazah dari umat-Mu yang mendahului kami. Keranda yang nantinya digunakan untuk mengusung kami menuju peristirahatan terakhir, rumah masa depan kami. Keranda yang akan mengantar kami bertemu dengan malaikat Munkar dan Nakir, yang akan menanyai kami. Demi Allah, sungguh menakutkan siksa kubur itu, ketika bekal kita tidak mencukupi. Keranda yang.... 

“Kenapa, Nan?” tanya Elok, membuyarkan ketakutanku.

“Tidak apa-apa,” jawabku singkat sambil sedikit menunduk.

“Kok, seperti ketakutan begitu?”

“Hm, kerandanya, El, membuat perasaan sedikit takut,” ucapku lagi, sedikit lirih.

“Takut kenapa?”

“Kenapa, ya? Perasaanku tidak enak saja. Mengingatkanku bahwa suatu hari aku akan ada di situ juga. Mati.”

“Hush, ngawur saja kamu itu!”

Aku hanya diam. Pandanganku tak lepas dari benda panjang yang ditutupi kain hijau berlafadz itu.

“Tapi, baguslah kalau begitu...,” lanjut Elok. Aku melotot. “ya, paling tidak kita jadi ingat mati, dan akhirnya akan lebih dekat pada Yang Maha Hidup. Lebih banyak beribadah, lebih banyak berbuat amal, dan akhirnya menjadi manusia yang lebih baik. Iya, kan?”

“Iya juga, sih, tapi...”

“Sudah, sudah... Jangan dipikirkan lagi. Tidak enak, kan sama yang punya rumah.”

Akhirnya aku diam lagi. Aku tidak boleh seperti ini. Aku, kan niatnya datang untuk menghibur, bukan malah membuat khawatir atau bersedih. Ayo, Nania, tenanglah. Nanti saja kalau mau menghiba saat kau berkunjung lagi ke rumah Allah, atau berdua dengan Allah, batinku menenangkan diri.

Tak beberapa lama, rombongan lelaki berseragam tentara datang. Dari ceritanya, ternyata almarhum adalah mantan penjuang dengan gelar terakhir Kapten. Dan sesuai dengan adat istiadat ke-tentara-an, maka harus ada upacara militer untuk melepas jenazah. Maka dilaksanakanlah acar tersebut. Sepuluh menit acara berlangsung, setelah itu empat orang tentara mengangkat keranda yang sebelumnya sudah ditutup dengan bendera merah putih, bendera bangsa Indonesia.

Sanak saudara dan beberapa pelayat ikut mengiringi kepergian jenazah menuju peristirahatan terakhirnya. Isak tangis kembali mendampingi keberangkatan itu. Tidak bisa tidak menangis memang, ketika orang yang kita sayangi pergi duluan menghadap Sang Khaliq.

Dan alangkah bahagianya ketika itu terjadi, karena itu berarti almarhum adalah orang yang sangat istimewa bagi orang-orang di sekitarnya. Orang yang berkesan di hati orang lain, akan selalu hidup dalam kenangan mereka. Dan itulah wujud hidup abadi sesungguhnya. Orang yang membeerikan manfaat untuk sekitarnya.

Aku ingin demikian. Aku berharap demikian. Saat aku lahir, aku ingin hanya aku yang meenangis, banyak orang yang tersenyum. Dan saat aku menemui Sang Illahi, banyak orang menangis, namun aku tersenyum. Lebih bisa menjadikan hidup yang diberikan Allah ini menjadi bermakna dan bermanfaat untuk sekitar.  Itulah bekal sesungguhnya. 

Aku memandang kepergian keranda itu dengan takjub. Sungguh, rahasia Allah. Tak tahu kapan itu menghampiri kita. Tua-muda, sehat-sakit, sedang apa-dimana-dengan siapa, sudah siap atau belum, semua sudah tertulis, bahkan sebelum kita hadir di dunia ini. Ya Allah Yang Maha Mengetahui, sesungguhnya suatu hari pasti aku akan ada di sana. Semua manusia pasti akan ada di sana. Cepat atau lambat. Namun bukan itu yang harus kita pikirkan. Yang paling penting adalah menyiapkan bekal yang akan digunakan untuk menempuh ‘perjalanan jauh’ itu. Perjalanan yang penting. Perjalanan yang merupakan awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Perjalanan untuk bertemu dengan Rabb-nya.

Semoga aku masih punya kesempatan untuk menyiapkan bekal itu. Semoga kita masih punya kesempatan. Amin.

End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar