Jumat, Januari 18, 2013

Sandal, Sepatu dan Sepotong Senyum part.2


Sebelumnya di sini

Wisnu memang layak mendapatkan yang terbaik. Dia baik, cerdas dan ehm, tampan. Populer di kampus atau di manapun dia menginjakkan kaki. Entah karena wajah tampannya, penampilannya, atau pembawaanya yang selalu menyenangkan. Semua orang menyukainya. Itulah Wisnu.
Dulu, banyak perempuan yang memandang aneh dan iri pada kedekatanku dengan Wisnu. Bagaimana tidak, dibandingkan dengan banyaknya gadis-gadis yang mendekati Wisnu, aku tidak ada apa-apanya. Tubuhku kurus dengan tinggi hanya seratus lima puluh sembilan sentimeter, rambut yang lebih sering bau matahari selalu kukuncir kuda, kulitku juga hanya sebatas sawo matang. Dan pada wajah, tidak ada yang bisa dibanggakan. Sebenarnya ada. Mata. Wisnu selalu mengatakan mataku indah. Hitam dan ketajamannya menandakan kalau aku cerdas. Ya, terima kasih!
Euforia langsung terjadi ketika kedekatan kami yang hanya sebagai teman, diproklamirkan di depan penghuni kantin sekolah¾saat itu kami masih SMA¾pada suatu siang. Tak terkira beberapa perempuan yang awalnya sinis dan tak mau menyapaku, seketika berubah haluan menjadi bidadari yang sangat baik padaku. Tentu saja hal itu hanya kamuflase. Mendekati sahabatnya untuk mendapatkan si pangeran. Kalau dalam bidak catur, itu namanya tak-tik kuda. Kau tahu, kan jalannya kuda? Dia berjalan dengan membentuk siluet huruf ‘L’¾artinya tidak langsung ke sasaran, melainkan belok dulu untuk menangkap sasaran sesungguhnya.
Sejak itu, aku berganti peran menjadi kotak pos buatnya. Tiap hari ada saja perempuan entah darimana, yang mengirimkan surat cinta padanya. Aku, tukang pos, juga merangkap menjadi lembaga sensor. Wisnu menyuruhku membaca setiap surat yang masuk. Dan semua terus berlangsung sampai di bangku kuliah. Di bangku kuliah, para perempuan lebih agresif, ‘nakal’, dan kreatif. Aku baru ‘dipecat’ dari tugasku setahun yang lalu, tepat saat Wisnu menyatakan Farah sebagai kekasihnya.
Aku melangkah menuju ruang himpunan Teknik Industri yang terletak di samping kantin kampus. Berjarak kurang lebih seratus meter dari gedung kuliahku, menjadi tempat favorit anak-anak himpunan untuk beristirahat sejenak, sebelum kelas berikutnya.
Ruang tidak besar, hanya berukuran 3 x 4 m, dengan korden warna biru tua yang hampir tidak pernah diganti, lantainya dilapisi karpet berharga murah dengan warna yang sama dengan kordennya. Temboknya-pun unik. Wallpaper ala anak himpunan. Alih-alih tidak bisa membeli wallpaper yang harganya mahal, kami menutup tembok-tembok yang catnya mulai mengelupas dengan poster-poster ukuran 20R. Mulai dari Angelina Jolie, Marlyn Monroe, Ferari sampai Julia Perez. Disamping mereka tidak lupa ditempelkan jadwal pembersihan ruang himpunan, jadwal undangan, dan data inventaris¾kalau-kalau benda-benda yang bermukim di dalam sini ada yang beralih tempat.
Di sana ada televisi tabung berukuran empat belas inch, dispenser, komputer model tabung pentium tiga yang loading nya sudah lambat seperti kura-kura, radio, keranjang kecil susun dua yang berisi gula pasir, kopi bubuk, teh celup, krimer, tiga buah gelas, piring kecil dan enam buah sendok.
“Lho, Ras... Tumben kemari? Tidak ada kuliah?” sapa Rendra saat aku muncul di depan pintu ruang himpunan. Aku menggeleng. Rendra adalah salah satu anggota himpunan yang paling setia pada almamaternya. Dia dua tahun di atasku, dan harusnya sudah pensiun sebagai anak himpunan. Tapi, dia masih dengan rajinnya mengunjungi tempat yang baginya adalah rumah kedua ini.
Dengan mengedikkan bahu tanpa menjawab, aku melepaskan sepatuku dan duduk di sampingnya. Remote televisi yang dipegangnya, langsung aku raih dan mulai kupencet-pencet. Mencari saluran televisi yang menarik. Rendra hanya menggelengkan kepala.
“Mana Wisnu?” tanyanya, sambil mengambilkan sebotol air mineral untukku. Mungkin dari wajahku kelihatan kumal dan butuh disiram.
“Pergi sama Farah,” jawabku singkat sambil menerima air mineral itu.
“Kok tidak ikut?”
“Memangnya aku pengasuhnya, kemana-mana harus ikut,” jawabku tanpa memalingkan muka dari siaran televisi yang sebenarnya tidak terlalu bagus.
“Ya... Siapa tahu? Dulu, kan kemana-mana kalian selalu sama-sama, jadi kupikir...” Rendra diam sebentar. Lalu berucap kembali, “Kalian berubah.” Satu kalimat yang bisa membuatku menoleh padanya sambil menyipitkan mata, cukup sebagai tanda bahwa aku tidak mengerti dan mohon dijelaskan apa maksudnya.
“Iya, hubungan kalian berubah. Kamu dan Wisnu,” lanjutnya, memperjelas maksudnya.
Aku kembali mengarahkan pandanganku kembali ke layar televisi yang tengah menampilkan sebuah iklan kartu seluler. “Hubungan apa? Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih bersahabat.”
“Benarkah? Mungkin dari secara kasat mata tidak kelihatan ada yang berubah, tapi kalau tahu keseharian kalian, pasti setuju dengan pendapatku,” jawabnya sambil menguncir rambut gondrongnya. Sepertinya agak mengganggu memang. Entah karena shampo yang tidak cocok atau dia memang enggan merawatnya, rambut itu serasa ‘mati’.
“Jangan sok tahu!” jawabku.

bersambung... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar