Senin, Desember 19, 2011

(116) Nilai sebuah koin seratus

"Semuanya 72.800,- Mbak," ucap seorang kasir padaku. Aku lalu mengeluarkan uang sebesar 73 ribu untuk membayar belanjaanku. 
"Ini kembaliannya. Terima kasih," ucapnya lagi sambil memberiku sebuah permen. Hanya sebuah.
"Mbak, saya mau koin saja," kataku sambil mengembalikan permen itu.
Mbak kasir itu lalu melemparkan permen ke tempatnya dan menggantinya dengan memberiku koin seratusan dua buah dengan wajah tidak menyenangkan, menggantikan wajahnya tadi yang penuh senyum. Lho, kenapa marah?? Tapi aku melangkah dengan cuek. 200 rupiah, kan adalah hakku. Tidak apa-apa, kan aku memintanya??

Mungkin kejadian seperti ini tidak hanya terjadi di sini, di tempatku. Tapi, hampir di semua kota. Memberikan kembalian dengan permen. Bukankah aneh? Kita membayar dengan uang, harusnya kalau kembali ya pakai uang juga, bukan malah diganti pakai permen. Memangnya ini jaman barter?? Dan satu permen dihargai dengan harga 150 perak. Anehnya lagi, sepertinya pembeli santai-santai saja menerimanya. Tidak mau menukarnya dengan uang.

Memang kalau dilihat dari nilainya, uang -100-200-300, sepertinya kecil dan tak bernilai. Tapi, kalau kita nabung di bank, maukah bank menerima saat kita ikut menabungkan permen senilai 300 rupiah? Aku rasa tidak. Jangankan 300, kurang 100 saja pasti dimintanya dalam bentuk uang, bukan permen.

Kebiasaan ini, apakah diketahui oleh pemilik toko? Atau hanya akal-akalan dari kasir itu sendiri? Lebih baik memberikan uang 100-200 perak itu pada pengemis. Itu akan lebih berguna dibanding hanya berwujud permen. Butuhkah kita pada permen itu? Seandainya suatu saat aku belanja, dan jumlahnya misalnya, 35.100, apakah akan menerima jika aku membayar dengan uang 35 ribu ditambah dengan permen satu buah? Karena jika aku membayarnya dengan uang 36ribu, percaya 100% aku hanya akan mendapat kembalian 500 perak dan dua-tiga buah permen. 
Lucu, saat kita meminta koin saja -bukan permen- mereka, para kasir itu, langsung pasang muka manyun dan nggak sedap. Lho, kenapa? Kok kecewa gitu? Ataukah itu merupakan pendapatan sampingannya dia?? No permen, artinya no sampingan?? Ckckckck...

Berlebihankah aku? Menganggap terlalu berpikir keras hanya untuk sebuah seratus rupiah? Entahlah... Kadang kupikir, kok bisa jadi balik ke dunia lama gini? Bedanya, bukan barang yang kita butuhkan yang dibarter, melainkan hanya sebuah permen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar