Kamis, Desember 08, 2011

(104) Saat penjual Kacang Rebus Mengajari tentang Syukur

 
Apa yang kamu lihat dari foto itu?
Bukan, aku tidak ingin menunjukkan toko sepatu. Buat apa? toko macam itu bisa kita temui dimanapun. Yang ingin kuperlihatkan adalah sosok perempuan renta yang tengah duduk di depannya. Dia tidak sembarang duduk disitu, tapi berjualan. Kira-kira apa yang dia jual?

Saat aku melihatnya, aku tengah berada di dalam bis jurusan Jogja-Semarang. Tujuanku adalah Ambarawa, menengok kakak laki-lakiku yang tinggal dan bertugas di Banyu Biru. Bukan  kebetulan kalau ternyata bis ini ngetem  alias berhenti untuk menunggu penumpang. Karena cukup lama, aku bertanya pada si sopir,
"Masih lama, Pak?" tanyaku.
"Sekitar dua puluh menit lagi, Mbak," jawabnya santai sambil menghisap rokok di tangannya.
"Hah? Dua puluh menit, Pak? Lama banget."
"Yaa, memang begitu aturannya, Mbak. Tiap bis yang sampai sini, harus berhenti 20 menit sampai bis selanjutnya datang."
"Ya, sudah, Pak!" jawabku sambil berlalu.

Malas ribut dengan si sopir (selain itu sudah bayar penuh sampai Ambarawa) aku memutuskan untuk turun mencari udara, sambil menghampiri Ibu tua renta tadi. Kulirik, ternyata dia menjual kacang rebus. Saat aku mendekatinya, dia sedang membungkusi satu per satu kacang dengan bungkus dari kertas majalah bekas. 

Aku lalu jongkok di sebelahnya dan mengajaknya ngobrol. Baru kutahu cerita ibu itu yang membuatku sangat bersyukur dengan Rahmat yang Allah kasih buat aku selama ini. Aku tidak perlu bersusah payah mencari sesuap nasi seperti yang dilakukan oleh perempuan renta bernama Ibu Suratni ini. 

Ibu Suratni berjalan lebih dari 3 km dengan membawa beban berupa kacang rebus di punggungnya. Dan itu tidak ringan, untuk orang seusianya. Katanya dia nggak tahu berapa usianya, tapi dia tahu ahun berapa dia lahir. 1942, artinya Ibu Suratni sudah berusia 69 tahun, dan masih harus bertarung dengan jalanan demi rupiah yang dia tahu tidak banyak akan dia dapatkan. Satu conthong (ukuran untuk satu bungkus kacang) dijual dengan harga 1000-2000. Sehari, bu Suratni hanya bisa menjual dan mendapat uang sebanyak 20.000 - 30.000. Itupun kalau sedang ramai atau ada suatu acara/parade. Kalau musim penghujan seperti ini, dapat 15000 saja sudah untung.

Bayangkan dengan apa yang kita dapat setiap bulan dari pekerjaan kita. Tidak perlu mengangkat beban dan berjalan jauh, berpanas-panasan dengan penghasilan tidak tentu. Tapi, jarang sekali bisa bersyukur secara istiqomah. Ada saja yang kurang. Rasa kurang dan kecewa untuk sesuatu yang belum kita miliki, membuat kita lupa untuk sesuatu yang sudah kita miliki, yang pantasnya untuk kita syukuri.

Bu Suratni, mengajarkan bahwa, tidak ada kerja yang sia-sia, seperti halnya tidak ada doa yang sia-sia. Kalau hari ini saya dapat 2000 pun, berarti menurut Allah itulah rejeki yang barokah buat saya dan keluarga. Yang penting, saya tidak akan pernah menyerah dan terus berusaha, supaya Allah juga tidak segan melimpahkan Rejekinya buat saya dan keluarga. Dan, saya yakin, Allah tidak akan pernah memutus rejeki hamba-Nya yang meminta.

Bukankah menjadi kata yang luar biasa dari seorang perempuan renta yang hanya berjualan Kacang Rebus, namun begitu percaya pada rejeki Allah?
Bagaimana dengan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar