Minggu, Juni 03, 2012

Memaknai (lagi) rasa kehilangan

Hari ini aku kembali belajar (lagi) tentang arti kehilangan... merasainya ketika calon tunanganku meninggalkanku... atau aku kehilangan dia. Aku selalu berpikir bahwa Tuhan tidak akan mengambil sesuatu dari kita, jika kita tidak sanggup berdiri dan bertahan tanpa sesuatu itu. Dan itu menjadikanku kuat. Tapi, hanya untuk sementara.
Berbulan-bulan sudah aku merasa terpuruk dengan perasaanku sendiri. Meratapinya, seolah-olah aku mengalami nasib yang luar biasa menyakitkan. Dua bulan setelah keberangkatanku, dia sudah bersama perempuan lain. Bersanding dan bercanda dengan seseorang yang bukan aku. Sakit rasanya. Meski aku selalu menutupnya dengans senyuman, karena tak ingin air mata ikut melelh di pipi ibuku tiap beliau panjatkan doa. Dan aku merasakannya sampai beberapa hari yang lalu.
Tiap saat sahabat menasehatiku bermacam-macam hal. Tentang rencana Tuhan, tentang datangnya seseorang lain nanti, tentang jodoh. Tapi, itu semua tidak bisa membuatku bangkit dan mencari sosok yang lain. Cintaku yang begitu besar untuknya membuatku menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Keterpurukanku dan kegalauanku menutup hati tentang kebaikan yang Tuhan kasih buatku.
Aku marah pada laki-laki itu, yang begitu saja melupakan kisah yang sudah terajut. Aku marah pada perempuan itu, yang menggantikan posisiku. Aku marah pada Tuhan, yang men-setting skenario hidupku seperti ini. Dan, aku marah pada diriku sendiri, yang tak pernah bisa berkaca dan instropeksi diri. Selalu melihat kesalahan yang kulakukan pada diri orang lain.
Manusia kadang tidak pernah tahu apa yang Tuhan rencanakan sebelum hikmahnya terlihat. Manusia kadang berprasangka buruk sebelum Tuhan memberitahukan alasannya. Padahal, ketika itu mungkin Tuhan hendak berkata, “maaf, Aku ambil milikmu yang ini, ya, dan akan kuganti dengan yang lain”, “Ini sudah tidak cocok untukmu, maka Aku akan menukarnya dengan lebih baik”, “Belum saatnya kamu menjalani ini, akan Kubuatkan saat yang lebih menakjubkan”, dan semua kata lain yang ingin Tuhan ucapkan buat kita. Tapi, kita tak pernah mengerti.
Hari ini aku bertemu dengan seorang perempuan kuat, yang mengalami hal lebih menyakitkan daripada aku. Army, namanya. Bukan hanya ditinggal tunangan dan tidak jadi menikah, tapi itu dilakukan sepihak oleh tunangannya satu bulan setelah Ayah Mbak Army meninggal. Ditambah lagi, keluarga si pria tidak pernah bertandang kerumahnya untuk memberi kejelasan. Tekanan seperti apa yang dia rasakan? Rasa sakitku tidak sebanding dengan yang dia rasakan. Dan, ternyata, Mbak Army bisa melaluinya. Bahkan perempuan itu kini sudah mendapat laki-laki pengganti pilihan Allah.
Akupun ingin kuat seperti dia. Ingin mempunyai keyakinan, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkanku selama aku membutuhkan-Nya. Allah tahu aku mampu bertahan. Dan, ya, aku bertahan hingga sekarang. Aku mampu berdiri dengan benteng yang kubangun sendiri dari airmata dan nasehat sahabat.
Aku mencintainya, tapi aku (harus) yakin bahwa Allah punya cara sendiri untuk memberikan cinta-Nya padaku. Aku berharap dapat kembali dengannya, tapi aku (harus) sadar bahwa Allah punya rencana sendiri untuk skenario-Nya.
Terima kasih untuk Mbak Army, dan sahabat-sahabat yang lain, yang telah membangunkanku dari mimpi tak berujung. Menuntunku melewati pisau-pisau yang (mau tak mau) harus kulalui, untuk kemudian mencapai tempat yang kuharapkan. Kesempurnaan setengah Dien yang kuimpikan. Bersama laki-laki itu,.... atau dengan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar