“Waduh, nggih setengah jam male! Kenopo, Mbak? (waduh, ya setengah jam lagi! Kenapa, Mbak?)?”
“Kok suwi nggih, Pak (kok
lama ya, Pak?)?” tanyaku sambil
melipat dahi.
“Ya, mau bagaimana lagi, Mbak,” jawabnya medhok dengan raut sedemikian rupa, seolah pasrah. “lha wong, memang aturane koyok ngunu, Mbak.
Saben bis sing nyampe kene, kudu meneng barang setengah jam utowo rongpuluh
menit, sampe bis liyane teko (memang aturannya seperti itu. tiap bis yang
sampai di sini, memang wajib berhenti selama setengah jam atau dua puluh menit,
sampai bis selanjutnya datang)!” jelas pak sopirnya.
“Mbak e badhe dateng
pundi, tho (Mbaknya mau kemana, sih)?” tanya seseorang yang duduk di
samping pak sopir.
“Ambarawa,” jawabku singkat.
“Oalah, yo sami, Mbak.
Kulo nggih penumpang, kok. Lawas malah. Sabar wae (Oalah, sama, Mbak. Saya
juga penumpang, kok. Malahan sudah lama. Sabar saja)!” ucapnya, yang ternyata
juga penumpang di bis yang kunaiki.
“Saya takut kemalaman saja, Pak. Kan, saya tidak tahu kurang
berapa jam lagi,” ucapku tidak kalah dalam berakting menunjukkan sikap cemas.
“Ndak apa-apa,
Mbak. Tidak akan kemalaman, kok. Sini Ambarawa hanya tinggal satu jam-an.
Nanti, kalau tidak di jemput biar bapak carikan ojek atau angkutan umum.
Tinggal mbak-nya kasih tahu dimana alamatnya,” jawab si bapak.
“Mbak e lek mau
mlaku-mlaku rumiyin, monggo (mbak-nya kalau mau jalan-jalan dulu, silahkan). Tidak akan ditinggal, kok!” sahut pak
sopir.
“Ya sudah, Pak. Matur
nuwun, nggih (terima kasih, ya)!” jawabku disambut dengan anggukkan
bapak-bapak itu hampir bersamaan.
Jeda.
Menghela nafas sambil melangkah pergi.
Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur membayar penuh sampai
Ambarawa. Lagi pula, kalaupun harus mencari kendaraan lain, aku tidak tahu
mesti naik apa dan di mana. Saudara laki-lakiku juga berpesan agar aku turun di
terminal Semarang, lalu dia atau anak buahnya akan menjemput di sana.
Pandanganku kembali tersita oleh ibu tua yang duduk di
emperan toko. Niat untuk kembali ke dalam bis, sempurna kuurungkan. Langkah
kakiku tertarik untuk mendekati perempuan¾ yang kutaksir usianya
sekitar enam-puluhan¾yang
sedang sibuk dengan sesuatu.
Aku mendekatinya. Perlahan dapa kulihat bahwa dia sedang
membungkusi kacang-kacang yang dibawanya dengan kertas majalah bekas. Aku tahu,
ibu itu menjajakan kacang rebus. Kepulan uapnya masih nampak, mengisyaratkan
bahwa kacang rebus itu baru saja diangkat dari perapian. Mengatakan dalam kepulan
itu bahwa ‘dia’ masih hangat¾kalau panas terlalu ekstrem.
Aku lalu jongkok di sebelahnya. Sejenak menciptakan diam dan
jeda di antara kami. Hanya sepersekian detik, kemudian si ibu sadar ada aku
disampingnya.
“Kacang Godhog, Nak? (Kacang
rebus, Nak)?” tanyanya dengan suara
lirih, namun terdengar kuat.
“Ehm, inggih, Bu.
Pinten sebungkus (ehm, iya, Bu. Berapa sebungkus)?” ucapku balik bertanya.
“Sakarepe, Mbak e.
Setunggal ewu saget, kale ewu nggih pareng (Terserah mbaknya. Seribu bisa,
dua ribu juga boleh),” jawabnya sambil menyunggingkan senyum. Santun sekali.
Padahal yang diajak bicara jauh lebih muda dari pada dia.
“Sing kale ewu mawon,
Bu. Gangsal bungkus (yang dua ribu saja, Bu. Lima bungkus)!” ucapku cepat, tanpa tahu untuk siapa
saja lima bungkus kacang rebus ini nanti. Si ibu mulai membungkusi kacang
pesananku.
Diam.
Tidak ada yang bersuara.
Si ibu konsentrasi membungkusi kacang rebus. Aku konsentrasi
memperhatikan wajahnya.
Udara di sini cukup segar setelah diguyur hujan. Namun,
kulihat ada beberapa butir peluh di kening ibu ini. Jadi ingin bertanya,
seberapa jauh kau sudah berjalan membawa beban ini, Wahai Ibu penjual Kacang
Rebus?
“Ini, Nak!” ucapnya membuyarkan kekhusyu’anku yang tengah melihat raut wajahnya.
“Oh, eh... iya, Bu. Terima kasih,” jawabku sedikit kaget
sambil merogoh uang di kantong celanaku. “Ini ya, Bu!” lanjutku sambil
memberikan selembar uang dua puluh ribu.
“Aduh, mboten enten
susuk e. Mbak e iki sing tumbas pertama (Aduh, tidak ada kembaliannya. Mbak
adalah pembeli pertama),” ucapnya sedikit gugup karena tidak memiliki
kembalian.
“Kalau begitu, Ibu buatkan saja lima bungkus lagi,” jawabku
santai.
“Hah? Gangsal bungkus
male? Guyon a mbak iki? Mangke sinten sing maem (hah? Lima bungkus lagi?
Bercanda Mbak ini? Nanti siapa yang makan)?”
kata Ibu penjual Kacang sambil membelalakkan matanya yang hampir redup,
tidak percaya. Aku sendiri tidak percaya. Kacang sepuluh bungkus ini nantinya
akan dimakan siapa, ya? Tapi aku tidak terlalu peduli. Pasti banyak orang yang
suka dengan kacang rebus. Dan kalau diberi gratisan, mereka tidak mungkin
menolak. Yang penting, ibu ini sudah ada pembelinya.
“Tenang saja, Bu. Nanti, kan bisa dijadikan oleh-oleh,”
ucapku sambil tersenyum. “Sudah, dibungkuskan saja, Bu. Saya serius, kok!”
lanjutku.
Sambil membungkus setelah mengucapkan terima kasih, aku
mendengarnya mengucapkan sesuatu dengan lirih. Sebuah kalimat yang jarang
sekali aku ucapkan meski sudah begitu banyak hal-hal baik yang kudapatkan.
Sebuah ucapan sederhana, namun mampu membuatku tertampar karena melupakan Sang Pemberi Nikmat. Ucapan yang dengan
buliran air mata tak tampak, diucapkan oleh Ibu Penjual Kacang Rebus di depanku
ini. Ucapan itu... Alhamdulillah, Ya
Rabb!
Ibu itu kembali memberikan lima conthong kacang rebus padaku dengan tidak lupa untuk tersenyum.
Ukuran sebungkus kacang rebus ini memang di sebut conthong. Bukan ukuran SI memang. Itu hanya sebuah kertas yang
dibentuk seperti kerucut. Tentu saja, kertas itu seukuran majalah atau kertas
koran yang di sobek menjadi empat. Mungkin sebagian penjual sudah menggunakan
timbangan, tapi tidak sedikit juga yang menggunakan conthong. Ibu dihadapanku ini salah satunya. Dan aku tidak terlalu
mempermasalahkannya, meski Kemetrologian yang berhubungan dengan
timbang-menimbang adalah suatu bidang yang kukerjakan di kantor.
Aku menerimanya sambil mengucap terima kasih. Kulihat jam
tanganku, kemudian beralih melihat sopir yang ada di warung kopi dan kondektur
yang masih setia berteriak. Sepertinya belum ada tanda-tanda akan berangkat.
Aku memutuskan untuk berdiam saja di samping ibu ini sambil
membuka satu bungkus kacang rebusnya. Mulai melahap sambil bertanya beberapa
hal pada si ibu, seolah sedang menginterogasi pedagang di pasar. Seperti
kegiatan yang biasanya dilakukan oleh kantor.
Aku tidak lagi jongkok, melainkan duduk bersila di dekat ibu
tadi¾meskipun
si ibu sudah melarangku karena kotor. Kubilang saja, daripada jongkok, malah ambeien nanti. Beliau tertawa,
mempertontonkan giginya yang tak lagi lengkap.
Dan mulailah cerita beliau.
Namanya adalah Suratni. Usianya... dia tidak tahu. Tapi dia
bilang, ketika proklamasi kemerdekaan tanggal Tujuh-Belas Agustus
Seribu-Sembilan-Ratus-Empat-Puluh-Lima, usianya baru tiga tahun. Artinya,
beliau lahir tahun 1942. Artinya lagi, usianya saat ini¾tahun 2011¾adalah
Enam-Puluh-Sembilan. Lebih sembilan tahun dari perkiraanku tadi. Dan masih
harus bertarung di jalanan demi rupiah yang dia tidak tahu pasti berapa banyak
di dapatkan hari itu.
Beliau hanya tinggal sendiri. Suaminya meninggal tiga tahun
lalu karena sakit. Masih ada dua anak perempuan yang keduanya bekerja di tempat
membatik di daerah Solo. Hal itu membuat mereka berdua harus kos di Solo.
Pulangpun tidak pasti, karena tidak seperti pegawai yang Sabtu atau Minggu
libur. Di pembuatan batik, liburnya bisa sewaktu-waktu. Meskipun anak-anaknya
sudah bekerja, namun tidak membuat Bu Suratni lantas bergantung pada kedua
anaknya¾mengingat
upahnya memang tidak seberapa. Biar di tabung saja buat kebutuhan mereka
sendiri, kata Bu Suratni. Selama masih kuat mencari nafkah sendiri, tidak akan
merepotkan buah hatinya, itu lanjutannya.
Setiap hari Bu Suratni harus berjalan lebih dari tiga
kilometer dengan membawa beban berupa kacang rebus di punggungnya. Dan itu
bukanlah sesuatu yang ringan untuk orang seusianya. Setiap satu bungkus¾seperti
yang sudah dikatakan¾dijual
dengan harga seribu atau dua ribu rupiah. Sehari beliau hanya bisa membut
paling banyak dua puluh bungkus, mengingat hanya ‘sedikit’ kacang rebus yang
bisa diangkutnya. Itupun belum tentu terjual semua.
“Lek rame nggih saget
angsal yotro kalih doso ewu sampe tigang doso ewu. Mung lek sepi, nggih angsal
gangsal welas ewu sampun Alhamdulillah (kalau rame, ya bisa dapat uang dua
puluh ribu sampai tiga puluh ribu. Tapi, kalau sepi, dapat lima belas ribu saja
sudah Alhamdulillah),” sahutnya saat aku menanyakan rupiah yang didapat dari
berjualan kacang rebus sepanjang hari.
“Cekap damel
sedinten-dinten, Bu (cukup untuk sehari-hari, Bu)?” tanyaku.
“Nggih lek masalah
cekap mboten cekap niku yaknopo awake dewe. Didamel cekap nggih cekap, didamel
mboten cekap... nggih mboten cekap. Nanging, sakniki lek mboten cekap nggih
badhe nyuwun sinten? Nggih dianggep mawon tirakat. Sing penting rejeki sing
wonten niku dados berkah damel urip kulo. Pun mboten kepingin sing macem-macem.
Asal mboten kelepat bersyukur marang Gusti Allah, ben diparingi slamet dunia
akhirat (ya, kalau masalah cukup tidak cukup, itu bagaimana kita sendiri.
Dibuat cukup, ya cukup, dibuat tidak cukup... ya tidak cukup. Namun, kalaupun
tidak cukup, mau minta sama siapa? Anggap saja hidup bertirakat. Yang penting
rejeki yang ada itu menjadi berkah untuk hidup saya. Sudah tidak ingin
macam-macam. Asal tidak pernah lupa bersyukur kepada Allah, biar dikasih
keselamatan dunia akhirat),” jawabnya dengan sangat sederhana. Tidak ada
keluhan dalam intonasi bicaranya. Semua dilakukan tanpa kesah, tanpa menghakimi
Sang Maha Pemberi, tanpa penuntutan.
Aku menganga. Terdiam.
Seketika menciptakan kembali jeda. Namun kali ini, tak kutahu
berapa menit lamanya.
Aku membayangkan dengan apa yang aku dapat setiap bulan dari
pekerjaanku. Tidak perlu mengangkat beban dan berjalan jauh, berpanas-panasan
dengan penghasilan tidak tentu, bisa ijin kapan saja asal tugas sudah selesai.
Tapi, jarang sekali bisa bersyukur secara istiqomah. Ada saja yang kurang. Rasa
kurang dan kecewa untuk sesuatu yang belum kumiliki, membuat aku lupa untuk
sesuatu yang sudah kumiliki, yang pantasnya untuk kusyukuri.
Bahkan aku memilih melarikan diri kemari, daripada
menyelesaikan masalahku. Menuduh Sang Pengusaha Hidup telah memporakporandakan
impianku, tanpa menyadari dan membuka ‘mata’ bahwa Dia tidak mungkin melakukan
sesuatu yang akan menjerumuskan ciptaan-Nya. Selalu menginginkan yang terbaik
bagi umat-Nya. Dan aku terlambat memahami itu.
Aku sudah berprasangka buruk pada-Nya.
Aku.... mengecewakan-Nya.
Jeda ini kuisi dengan helaan nafas panjang.
“Seumpomo menungso
eling lek kabeh sing ono ing dunyo iki kagungane Gusti Allah, sadar lek mangke podho sedho mboten mbetoh
nopo-nopo kecuali amalan kebaikan, ngrasaaken dadi menungso paling beruntung,
Insya Allah mboten enten menungso sing mboten bersyukur. Nggarai kabeh menungso
mresanine nang dhuwur, thok, dadi nggih ketingale sing dhuwur-dhuwur,
mewah-mewah, angel nggayuke (Seandainya
manusia ingat bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah,
sadar kalau nanti semua yang meninggal tidak membawa apa-apa kecuali amalan
kebaikan, merasakan menjadi manusia paling beruntung, Insya Allah tidak ada
manusia yang tidak bersyukur. Sebabnya manusia itu melihatnya hanya ke atas
saja, jadi yang kelihatan yang tinggi-tinggi, mewah-mewah, susah
menggapainya),” kata Bu Suratni sambil menatapku dengan sinar matanya yang
lembut, meski kerasnya roda kehidupan sudah menggilasnya¾seakan tahu isi hatiku.
Bu Suratni, mengajarkan bahwa, tidak ada kerja yang sia-sia,
seperti halnya tidak ada doa yang sia-sia. Kalau hari ini saya hanya
mendapatkan dua ribu-pun, berarti menurut Allah itulah rejeki yang barokah buat
saya dan keluarga. Yang penting, saya tidak akan pernah menyerah dan terus
berusaha, supaya Allah juga tidak segan melimpahkan rejeki-Nya buat saya dan
keluarga. Dan, saya yakin, Allah tidak akan pernah memutus rejeki hamba-Nya
yang meminta, nasehatnya kemudian. Bukankah menjadi kata yang sungguh luar biasa
dari seorang perempuan renta yang hanya berjualan Kacang Rebus. Dia begitu
percaya bahwa Allah, Sang Maha Hidup, tidak akan pernah meninggalkannya, selama
dia tidak meninggalkan Allah.
Hari ini, bumi diguyur hujan. Cukup deras untuk melahirkan
dingin dan hawa segar. Namun, satu-satunya hal yang membuatku sejuk dan membuka
‘mata’ hari ini bukanlah rintikan sisa hujan, melainkan pandangan teduh dan
kata-kata yang keluar dari bibir perempuan renta yang penuh keriput.
“Ayo, Mbak... Arep
Budhal iki (Ayo, Mbak... mau berangkat ini)!” teriak pak sopir itu
kepadaku. Nyatanya, bapak berperut gendut itu tidak melupakan aku.
“Iya, Pak!” jawabku setengah berteriak sambil bangkit dari
duduk bersilaku. “Ibu, matur nuwun
sanget, nggih (Ibu, terima kasih banyak, ya)! Hari ini saya mendapatkan
pelajaran tentang mensyukuri apa yang Allah kasih buat saya dari Ibu. Terima
kasih... Semoga Allah selalu memberkahi dan melindungi Ibu selalu. Sampai
ketemu lagi, ya,” pamitku sambil memegang tangan Bu Suratni yang sudah dilapisi
keriput.
“Sama-sama, Nak. Semoga Allah melindungi Anak juga sampai
tujuan, ya!”
Aku setengah berlari naik ke dalam bis yang sudah hampir
berjalan. Kembali duduk di tempatku tadi. Kali ini, ada bapak yang tadi ada di
warung kopi bersama pak sopir, yang duduk di sampingku.
Dua puluh menit.
Kurang, tidak sampai dua puluh menit.
Aku mendapatkan sesuatu yang berharga melebihi apapun.
Belajar tentang bersyukur.
Sleman, 22 November 2011
Perjalanan menuju Ambarawa,
Dimanapun Ibu berada, semoga Allah selalu
memberikan kesehatan dan kita bisa bertemu lagi
kamu sudah mendapatkan motivasi dan kesimpulan itu sebelum perbincangan kita baru-baru ini yah :)
BalasHapusterima kasih kepada takdir yang mempertemukanmu dengan ibu Suratni,
*ngelap airmata*