Yang pertama bisa baca di sini
Perjalanan menuju ke sana, tidaklah lancar. Padahal hari ini bukan akhir pekan atau liburan sekolah. Tapi, jalanan lumayan padat. Ditambah gerimis yang mengakibatkan jalanan sedikit licin, sehingga kendaraan-kendaraan itu berjalan dengan pelan dan hati-hati. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Perasaan bahwa aku akan tiba di sana lebih dari tiga jam kemudian. Fiufhh....
Perjalanan menuju ke sana, tidaklah lancar. Padahal hari ini bukan akhir pekan atau liburan sekolah. Tapi, jalanan lumayan padat. Ditambah gerimis yang mengakibatkan jalanan sedikit licin, sehingga kendaraan-kendaraan itu berjalan dengan pelan dan hati-hati. Tiba-tiba saja perasaan itu datang. Perasaan bahwa aku akan tiba di sana lebih dari tiga jam kemudian. Fiufhh....
Memasuki kawasan Magelang, hujan mulai menderas. Pak Sopir
mulai menghidupkan wiper,
kondukter-pun ikutan mulai menutupi kaca jendela bagian atas. Sempurna sudah
terasa panas dan gerah di dalam bis ini. Angin hanya masuk melalui jendela di
samping sopir dan kondektur, lalu harus di bagi dengan sekitar empat puluh
orang di dalam bis ini. Jadilah, kertas yang sempat menjadi kipasku tadi,
sekarang harus bersedia kembali menjadi kipas.
Jeda.
Aku ketiduran.
Tas barangku masih dalam dekapan.
Aku terbangun karena sebuah suara cempreng dengan petikan
gitar dari seorang pengamen yang naik dalam bis ini. Suaranya keras sekali,
hingga aku yang sudah memakai walkman masih
juga terbangun karena berisik. Kulihat pengamen itu. Usianya sekitar enam atau
tujuh belasan. Sama dengan usia adikku yang bungsu. Berarti harusnya dia masih
sekolah, bukan malah jadi anak jalanan dan menjadi pengamen. Lagi-lagi masalah
biaya, ya?
Hm, pendidikan dewasa ini memang sudah melambung biayanya. Dana BOS bukan lagi sesuatu yang bisa diharapkan. Karena kadang realisasinya tidak sesuai dengan yang digembor-gemborkan. Atau, ini adalah pilihan hidupnya? Banyak tindikan di wajahnya. Di hidung, mulut, telinga dan pelipisnya. Aku membayangkan bagaimana caranya dia cuci muka, ya? Tato juga tidak ketinggalan menghiasi tubuhnya. Kemeja jeans yang digunting paksa lengannya membuatku bisa melihat tato-tatonya. Tangan kanan mulai dari pundak hingga pergelangan tangan. Tangan kirinya hanya di lengannya. Aku hampir tersenyum geli saat pandanganku sampai pada bagian kakinya. Remaja di depanku yang tengah mengamen ini, dengan gayanya yang super metal ala anak punk, ternyata mengenakan sandal jepit. Bukankah kebanyakan mereka-mereka yang model seperti selalu memakai sepatu kets?
Hm, pendidikan dewasa ini memang sudah melambung biayanya. Dana BOS bukan lagi sesuatu yang bisa diharapkan. Karena kadang realisasinya tidak sesuai dengan yang digembor-gemborkan. Atau, ini adalah pilihan hidupnya? Banyak tindikan di wajahnya. Di hidung, mulut, telinga dan pelipisnya. Aku membayangkan bagaimana caranya dia cuci muka, ya? Tato juga tidak ketinggalan menghiasi tubuhnya. Kemeja jeans yang digunting paksa lengannya membuatku bisa melihat tato-tatonya. Tangan kanan mulai dari pundak hingga pergelangan tangan. Tangan kirinya hanya di lengannya. Aku hampir tersenyum geli saat pandanganku sampai pada bagian kakinya. Remaja di depanku yang tengah mengamen ini, dengan gayanya yang super metal ala anak punk, ternyata mengenakan sandal jepit. Bukankah kebanyakan mereka-mereka yang model seperti selalu memakai sepatu kets?
Setelah menyanyikan tiga buah lagu, dan mengucap terima kasih
dengan kata-kata yang super cepat, dia mengeluarkan bekas bungkus permen.
Kemudian dengan santun menyodorkan pada para penumpang sambil mengangguk dan
mengucapkan terima kasih. Tidak semuanya memberikan recehan padanya. Bahkan ada
yang tidak segan membuang muka, seolah pengamen itu adalah sosok yang tidak
layak untuk dilihat atau diberi senyuman.
Aku merogoh bagian depan kantong tasku. Tempat biasanya aku
menyimpan harta melimpahku berupa uang receh. Aku tidak melihat berapa jumlah
uang yang kuambil. Yang jelas, aku mengambil begitu saja. Memang tidak
bergenggam-genggam, tapi lumayanlah. Aku meletakkan ke dalam bungkus permen
yang disodorkan padaku. Terdengar bunyi kincring
yang lemah, sepertinya tidak banyak yang memberinya uang sampai bangku
baris ke enam ini. Ya, semoga di belakang akan banyak yang memberinya sekeping
receh. Ah, kenapa aku jadi simpati? Dia, kan sudah membangunkanku dari tidur
‘siang’ku. Namun, sebuah ucapan terima kasih dari bibirnya dengan hiasan senyum
membuatku terpaksa menaruh sedikit simpati padanya. Susahnya mencari
uang, sedikit memberitahu padaku kenapa anak-anak seusia adik bungsuku ini
malah berada di jalanan saat hari sekolah. Tapi aku tak tahu pasti, apakah memang
untuk bertahan hidup, atau hanya untuk membeli seputung rokok? Entahlah.
Aku memandang keluar. Baru kusadar bahwa hujan sudah
berhenti. Meninggalkan tetesan air yang merembet turun di kaca jendela bis ini.
Menyisakan beberapa becek di jalanan. Aku mencari tahu sampai dimana sekarang
melalui tulisan-tulisan yang mungkin menerangkan nama daerah ini. Tapi, sampai
mataku hampir pusing menatap jalanan samping, aku belum menemukan nama daerah
ini. Nihil.
Hingga akhirnya, pak sopir menghentikan bisnya di sebuah
pojokan perempatan. Mengelap wajahnya dengan handuk yang tidak pernah terlepas
bertengger di lehernya, sebelum turun dari bis. Kondektur sudah turun duluan,
dan sekarang tengah berteriak-teriak mempromosikan bisnya untuk menarik
penumpang tempat di perempatan jalan. Sepertinya
akan lama ini, batinku. Bis yang berhenti di suatu tempat ramai,
persimpangan jalan, kemudian sopir dan kondekturnya sampai turun, pasti tidak
akan sebentar.
Daerah ini memang cukup ramai. Di sisi kanannya adalah sebuah
pasar kecil dengan pedagang makanan di sepanjang jalannya. Sedangkan sisi kiri,
banyak toko berjejer ditambah dengan beberapa angkutan umum yang ikutan
bertengger mencari calon penumpang.
Di saat suasana suntuk mengetuk kepalaku, tiba-tiba sebuah
pemadangan menyita mataku. Menariknya untuk terus melihat pada sesuatu itu.
sehelaan nafas, rasa suntuk itu dapat kuusir. Pemandangan itu sebenarnya sangat
sederhana. Bahkan lebih bisa cocok tidak menarik. Tapi, mataku tetap berada
pada fokusnya. Perempuan tua menggunakan kebaya lusuh dengan jarik dengan memanggul sebuah keranjang
besar di punggungnya. Aku tidak tahu apa yang dibawanya. Namun, kelihatannya
bukan sesuatu yang ringan, hingga si perempuan renta itu harus membungkuk
jalannya.
Sampai di depan sebuah toko, perempuan itu berhenti.
Menurunkan beban berat di punggungnya. Duduk sebentar sekedar untuk menghela
nafas, kemudian mengeluarkan sebuah sapu lidi kecil dari samping keranjangnya.
Menyapu tempat yang akan dipakainya. Sebentar saja, kemudian menaruh sapu lidi
tersebut di samping toko. Segera lalu dia bersimpuh dan membuka keranjang di
hadapannya.
Sepertinya dia menjual sesuatu.
Penasaran aku memicingkan mata, berusaha memperjelas
pandanganku. Tapi hasilnya nol. Minus yang
diderita oleh mataku, membuatku tidak bisa melihat benda-benda yang jauh.
Apalagi dihalangi juga oleh kaca jendela yang kabur karena embunan air hujan.
Akhirnya aku memutuskan untuk turun.
Kuinjakkan kaki di tanah aspal. Celingukan mencari kondektur atau sopirnya. Kutemukan kondektur di
persimpangan, belum juga berhenti berteriak. Sopirnya, kutemukan sedang duduk
di sebuah warung kopi di sisi kiri jalan, di belakang bis. Aku melangkah
mendekati pak sopir.
“Nyuwun sewu (permisi),
Pak!” sapaku. Si sopir itu yang tengah meniup kopinya, mendongakkan kepala
mendengar sapaanku.
“Inggih, Mbak? Wonten
nopo (iya, Mbak? Ada ada?)?” tanyanya.
“Masih lama ya, Pak, berhentinya?”
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar