“Setengah hidupku belajar di bangku sekolah,
belum
kudapatkan pelajaran syukur seperti ini....
Dua puluh menit aku bersamanya,
aku sudah mendapatkan arti syukur yang berharga!”
Langit Jogja siang ini mendadak mendung. Padahal sejak pagi
hingga beberapa menit yang lalu matahari masih bersinar dengan gagahnya. Gerah,
itulah yang kurasakan. Sepertinya suhu sekitar naik karena mendung tiba-tiba
ini. Katanya, hal itu karena tekanan udara yang meningkat yang disebabkan
atmosfirnya tertutup awan, yang akhirnya juga menutup ruang gerak udara dari
atas, makanya udara di bawah tidak leluasa untuk bergerak ke atas dan akhirnya
dia mengalami titik jenuh yang di dalamnya mengandung molekul-molekul uap air
sisa dari panas matahari. Kemudian uap itu tidak bisa bergerak ke aras karena
tertahan si jenuh, ditambah lagi molekul keringat tubuh yang tidak bisa keluar
karena tertahan si jenuh tadi. Jadinya, gerahlah yang dirasakan oleh tubuh
kita.
Aku mengipaskan kertas yang ada di tanganku sambil menunggu
bis jurusan terminar Semarang. Rencananya, hari ini aku ingin pergi ke tempat
saudara laki-lakiku di Ambarawa. Mumpung ada waktu longgar selama di Jogja ini.
Kalau ditanya ada keperluan apa kemari, aku akan menjawab ‘Aku sedang melarikan
diri!’ yang berkedok perintah dari kantor untuk mendampingi selama Pameran di
Jogja Expo Center ini.
Jadwal di lembaran kertas yang tertempel di stand pameran
tertulis bahwa hari ini dan esok tugasku untuk mendampingi akan digantikan oleh
bapak-bapak berusia di ambang lima puluhan dengan kumis hitam yang jarang dan
rambut kerap dicat tiap dua minggu sekali untuk menutupi tanda penuaannya. Aku
tidak menyia-nyiakan keberadaanku di sini. Kalau tidak ada acara beginian,
tidak mungkin aku bisa cabut dari kantor dan dari segala ‘hiruk pikuk’ di
kampung halaman. Terima kasih kantor, telah memberikan kesempatan untuk
melarikan diri. Setelah ijin dan berkemas, aku keluar dari tempat pameran ini
pukul satu siang menuju terminal Bis Trans Jogja. Hanya menunggu sebentar,
sepuluh menit kemudian bis yang kutunggu datang juga. Siap mengantar ke
Terminal Bis besar.
Jeda.
Ambil nafas.
Hembuskan.
Bis yang kondekturnya meneriakkan terminal Semarang, belum
juga kudapatkan. Aku masih berdiri di samping Terminal Giwangan, sengaja tidak
masuk karena malas untuk menunggu lama lagi-lantaran bis di dalam
selalu dalam kondisi tidak siap berangkat. Akhirnya setelah dua puluh menit kemudian, bis jurusan
Semarang kulihat keluar dari terminal ini. Kondektur, dengan suara yang
bersaing dengan deru mesin kendaraan bermotor. Hebat, pasti tidak pernah
terkena radang tenggorokan.
Aku melambaikan tanganku. Perintah sederhana untuk memintanya
berhenti. Dia berhenti lima puluh meter dari tempatku berdiri. Kebiasaan.
Setelah menginjak gas sebegitu cepatnya, tiba-tiba harus me-rem mendadak. Ya tidak bisa langsung berhenti.
Ditambah lagi semua sopir dan kondektur bis itu penganut faham harus cepat biar dapat banyak setoran. Selalu
saja menyuruh penumpang cepat-cepat naik, lalu begitu sudah naik, langsung
berangkat meskipun si penumpang belum mendapatkan tempat duduk.
Aku berlari kecil karena teriakan si kondektur. Untung hanya
membawa tas ransel, jadi tidak perlu terlalu kerepotan dengan barang bawaan.
Akhirnya naik juga. Benar saja, begitu semua kakiku sudah berada di tangga
pertama pintu masuk bis ini, si sopir langsung menginjak gas. Membuatku
hampir terjengkang ke belakang. Untung
aku sudah memegang besi yang tepasang di pintu bis.
Hukum Fisika, benda diam akan cenderung diam, benda bergerak
akan cenderung bergerak. Paham? Maksudnya, ketika kita dalam posisi bergerak ke
depan atau belakang, lalu tiba-tiba diam, maka kita akan menyisakan sebuah
gerakan ke arah depan atau ke belakang-cenderung untuk bergerak
ke depan atau belakang. Begitu juga sebaliknya, saat kita dalam posisi diam,
lalu tiba-tiba bergerak ke depan, maka kita akan meyisakan sebuah gerakan ke
belakang-cenderung
untuk diam. Apa? kau ingin mempraktekkannya? Silahkan!
Jeda.
Menarik nafas lagi lebih panjang.
Aku mendapat duduk di bangku nomor enam dari depan, sebelah
kiri. Karena hanya kursi itu yang murni belum ada penghuninya. Ketika
mengadakan perjalanan aku memang paling suka duduk dekat jendela. Apalagi kalau
jendelanya bisa di buka. Selain bisa mengurangi mabuk perjalanan, aku bisa
melihat segala hal yang kulewati.
Aku membuka tasku dan mengeluarkan sebuah walkman. Untung aku membawanya. Lumayan
untuk menemani perjalanan yang kalau lancar, kuperkirakan memakan waktu tiga
jam. Apalagi dalam bis yang miskin musik dan hanya mengandalkan pengamen
jalanan yang suaranya kadang kalah dengan suara mesin bis ini sendiri.
Sekejap saja, aku sudah berada di duniaku sendiri. Damai,
dengan ditemani Geisha, SOS, Gigi,
Rihanna, Miley. Tidak sekalipun menghiraukan sekitar. Tentu saja aku tidak
lengah masalah tas. Aku mendekapnya. Selain baju dan uang, di dalamnya juga ada
sekedar buah tangan untuk dua keponakanku.
Ambarawa. Banyu Biru. Markas Tentara. Di sanalah saudara
laki-lakiku tinggal bersama keluarga kecilnya. Bertugas dan meninggalkan
kampung halaman lebih dari enam tahun. Dan kunjunganku kali ini adalah yang
pertama. Pertama datang ke rumahnya sekaligus pertama menginjakkan kaki di
sebuah tempat dimana terdapat banyak pria ‘berseragam’. Jujur saja, bukan hal
yang cukup menyenangkan sebenarnya berada di tempat ini. Sejak lama aku tidak
begitu suka pada laki-laki ‘berseragam’. Sedikitpun. Mungkin karena selama ini,
yang kutemui adalah tentara-tentara atau polisi yang genit. Yang punya (maaf)
‘simpanan’ di mana-mana. Yang suka menggoda perempuan. Yang punya perut buncit.
Ah, rasa terima kasihku pada mereka hanya sebatas karena mereka adalah pembela
negara. Lebih dari itu... tidak.
bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar