“Aku akan menikah!” ucapku
melalui sambungan telepon. Lima menit jeda yang terjadi. Terasa lama. Cukup
lama hingga aku mengulang kembali ucapanku, “Aku akan menikah, Kak.”
Lirih, terdengar tanya dari
seberang, “Kau yakin?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku tidak
bisa berkata apa-apa selain.... “ Suara itu menggantung sekian detik.
“...selamat.”
“Datanglah, Kak,” pintaku.
“Aku tidak janji.”
“Kumohon! Aku akan
mengirimkan tiketnya besok.” Lagi-lagi ada jeda diantara pinta dan persetujuan
itu. Aku menunggu. “Kumohon, Kak. Aku butuh kehadiranmu,” pintaku penuh
pengharapan. Aku memang butuh dia. Dia, penyemangatku−sejak dulu.
Ada helaan nafas panjang
dari seberang. Lalu, terdengar sebuah jawaban, “Baiklah. Aku akan datang.”
“Terima kasih, Kak.” Aku tak
tahu lagi apa yang harus kubicarakan. Jujur, ini pertama kalinya aku canggung
bicara dengannya. Padahal selama ini, setiap telepon kami tak pernah kehabisan
bahan pembicaraan. Karena itu, kecanggungan ini harus segera aku akhiri. “Kalau
begitu, aku tutup teleponnya, Kak. Sekali lagi, terima kasih. Sampai jumpa tiga
minggu lagi.”
Rasa berat itu mendadak
berkurang. Hanya sedikit. Namun, cukup membuatku bernafas lebih ringan. Dulu,
kukira berita seperti ini akan membuatnya bahagia. Dan aku akan menyampaikannya
dengan ceria pula. Tapi, tak kusangka akan terasa berat bicara dengannya. Aku
hanya berharap dia mau mengerti.
-----------------------
“Lintaaaang!!!” Sebuah suara
memanggilku dari bawah. Aku menuruni tangga dengan setengah berlari. Mengingat
yang memanggilku adalah ibu. Aku tak ingin membuatnya menunggu.
Sambil mengatur nafasku, aku
menjawab, “Ya, Bu?”
Ibu membentangkan tangannya
di hadapanku. Ujung-ujung jarinya memegang sebuah gaun kebaya. Cantik sekali.
Warnanya putih bersih dengan kombinasi bordir merah marun dan silver. Dengan
leher turtleneck dan menjuntai
panjang hingga lutut. Aku tak perlu bertanya untuk apa kebaya itu. Aku tahu pasti
kapan ‘dia’ akan digunakan.
Tapi, toh aku menanyakannya juga. “Itu... untuk apa, Bu?”
Ibu menempelkan kebaya itu
pada tubuhku sambil berkata gemas, “Ya ampun, Lintang... Tentu saja ini untuk
akadmu nanti. Begitu saja kau tanyakan.”
Aku diam saja. Aku bukannya tidak tahu, Ibu...
aku hanya menanyakan sebuah pertanyaan basi. Mungkin dengan begitu, Ibu akan
lebih bergairah menyiapkan semuanya. Aku hanya menurut. Bahkan ketika Ibu
menyuruhku berbalik dan menempelkan kebaya itu di punggungku, aku menurut.
Seorang perempuan separuh
baya bertubuh tambun, dengan pipi tembem, dan rambut disanggul kecil, berteriak
riang, “Duh, cantiknya. Sudah kubilang, kan, Lintang pasti cocok sekali dengan
kebaya buatanku ini.”
Perempuan berusia awal lima
puluhan menjawab tak mau kalah, “Itu masih belum seberapa, Mbakyu. Lihat saja nanti, begitu sudah kena sentuhan riasanku,
pasti tambah ayu.”
Ibu hanya geleng-geleng
kepala sambil tersenyum. “Lintang akan menjadi pengantin paling cantik,” puji
Ibu sambil memeluk pundakku. Lagi-lagi aku hanya menyambutnya dengan senyuman.
Setelah dirasa tidak ada
lagi yang diperlukan Ibu denganku, aku permisi keluar. Ibu mengijinkan. Beliau
tengah sibuk dengan ibu-ibu paruh baya lainnya menyiapkan semua ‘amunisi’ yang
diperlukan untuk acara seminggu lagi. Sepertinya, beliau dan beberapa kerabat serta teman-temannya lebih antusias dibandingkan aku sendiri, sang calon mempelai.
Aku melangkah keluar.
Anak-anak kecil berlarian di halaman depan rumah. Sebagian dari mereka adalah
keponakanku. Sebagian lagi adalah anak-anak tetangga di samping kiri-kanan
rumah. Melihat polosnya mereka, aku sejenak iri. Aku pernah mengalami fase
dimana aku berlarian tanpa beban seperti mereka. Aku pernah menjadi seperti
mereka, yang tersenyum tanpa ada perasaan terpaksa.
Seorang anak berkepang dua
menghampiriku. Dia tersenyum sambil memperlihatkan giginya yang putih dan
berbaris rapi, seraya menyapa, “Mbak Lintang, main sama kita, yuk. Daripada
bersedih.”
Sejenak aku terperanjat
dengan ucapannya. Tubuhnya yang kecil membuatku harus berjongkok untuk
mendekatkan wajahku pada wajahnya. “Kok, Aya bisa bilang Mbak sedang bersedih,
sih?” tanyaku.
Aya, anak kecil berusia enam
tahun itu dengan ringan menjawab, “Mata Mbak Lintang sedang menangis.”
“Hahahaha.” Aku memaksakan
tawa. “Mana mungkin, Aya. Lihat, tidak ada air matanya, kan?” lanjutku sambil
mengusap-usap mataku. Menunjukkan kalau tidak ada air mata yang keluar di sana.
Mulut Aya menyunggingkan
sebuah senyum. Aku tak tahu artinya. Lalu dia menarik tanganku. Mengajakku
menuju sebuah ayunan yang terdiam sendiri. Tak ada anak-anak yang bermain di
situ.
Kukira, Aya menyuruhku
mendorong ayunannya. Tapi salah. Aya justru memintaku untuk duduk. Lalu dia
beranjak ke belakangku dan mulai mendorong ayunan yang sudah kududuki.
Tentu saja tubuhnya yang
kecil tidak kuat mendorongku. Karena itu, kakiku yang menapak
tanah−membantunya− mendorong. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Hanya diam yang
menjawab ketidakmengertianku.
Kala aku sibuk mengernyitkan
kening, mendadak Aya berkata, “Aya cuma merasa, Mbak Lintang tidak bahagia.
Meskipun menebar senyum di sana-sini, mata Mbak Lintang melengkungnya ke bawah.
Itu tanda seseorang sedang sedih hatinya, Mbak.”
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar