Siang yang terik. Matahari kiranya tak
bersahabat hari ini. Membakar setiap kepala yang tak terlindung. Ah, untung aku
mengenakan jilbab, batinku sambil membenarkan bentuk jilbabku ini. Aku lebih
suka memakai jilbab instan dibandingkan jilbab kain yang sekarang sedang tren
atau kain segi empat layaknya jilbab yang sering dipakai. Karena jilbab instan
menurutku lebih praktis bagi perempuan yang bekerja di lapangan seperti aku.
Ya, walaupun kadang ingin juga tampil cantik dengan jilbab yang anggun.
Sepanjang jalan menuju kantor tadi, aku
melihat banyak penjual es, mulai es kelapa hijau, es dawet ayu, es buah rumput
laut, dan beberapa gerobak es lagi yang tidak berjudul. Dan semuanya tidak ada
yang sepi. Sungguh, kadang Matahari yang sedang bersemangat, justru
mendatangkan rejeki bagi sebagian orang. Allah memang Maha Pemberi.
Aku mengusap peluh yang berlelehan di
keningku. Siang ini, aku baru sampai di kantor pukul setengah satu siang. Dari
tadi pagi, bersama teman sekantor yang sudah seperti saudara sendiri, Elok, aku
berkeliling dari satu industri kecil ke industri kecil yang lain. Biasa, tugas
penyuluhan. Sinar matahari yang menyengat tidak kami gubris, demi amanah yang
sudah diberikan sejak pertama kami menginjakkan kaki di kantor ini. Setiap
menuju industri yang satu, kami singgah dulu sebentar di warung hanya untuk
membeli segelas minuman dingin semi dahaga kami. Total, sampai pukul setengah
satu ini, kami sudah habis tiga gelas es teh.
Setelah meletakkan tas di ruangan, aku
bergegas menuju mushola yang terletak di belakang kantor. Di sana sudah ada
beberapa bapak yang juga bekerja di kantor ini, tengah duduk bersantai. Aura
mushola kecil ini memang menyejukkan. Selalu menenangkan saat berada di gubuk
Allah, bukan?
Aku duduk sambil melepas sepatuku,
ketika Pak Rizal, Sekretaris kantorku, menanyaiku, “Darimana, Mbak?”
“Dari industri kecil, Pak,” jawabku
singkat.
“Yang di kaki gunung Semeru itu?”
tanyanya lagi.
“Iya, Pak,” jawabku sambil mengangguk.
“Panas-panas begini?” sahut Pak Aziz,
Kepala salah satu bidang di tempat kerjaku.
“Ya, namanya juga tugas, Pak. Mau panas,
mau hujan, kalau masih mampu, ya harus berangkat. Biar tidak makan gaji buta,”
jawabku lagi. Entah itu menyinggung atau tidak. Yang pasti sedikit membuat raut
muka beberapa bapak berubah. Maaf, ya, benar-benar tidak ada maksud sama
sekali.
“Memangnya mengurusi apa lagi, Nan?”
tanya Pak Joko, Bapak bertubuh gendut yang mengenalku sejak aku kecil, hingga
hanya memanggilku dengan sebutan nama, tanpa embel-embel “Mbak” atau “Dek”
seperti beberapa orang. Ya, ya, sebagai informasi saja, aku paling muda di
kantor ini. Dan tujuh puluh persen pegawai di sini adalah seusia bapakku,
bahkan di antaranya pernah jadi teman kerja bapakku.
“Pendampingan untuk pengajuan proposal
pinjaman dana, Pak,” jawabku, yang disambut anggukan dari beberapa orang
lainnya. “Saya sholat dulu, ya, Pak,” pamitku, sebelum diajak bicara lebih
banyak lagi, lalu berjalan menuju tempat wudhu.
Subhanallah, air wudhu ini sungguh
ajaib. Mendinginkan. Bukan hanya bagian luar, bagian dalam-pun ikut
terdinginkan. Menurutku, sih, bukan karena jenis airnya atau asalnya, melainkan
karena ini adalah wudhu. Ketika “nawaitul
wudhuu-a lirof’il hadatsil ashghori fardhon lillaahi ta’aalaa” terucap
sebagai niat berwudhu, maka air apapun langsung berubah, bermutasi menjadi air
paling sejuk, paling sehat, dan paling menenangkan. Seakan bagian tubuh ini
langsung bersih. Telapak tangan, mulut, lubang hidung, wajah, tangan, kepala,
telinga, tengkuk, dan kaki terasa dingin dan penat seakan mengabur pergi.
Setelah wudhu, aku meminjam mukena yang
ada di mushola, mengenakan dan mulai melaksanakan sholat dhuhur. Sungguh,
sholat dhuhur membuat rasa lelah, panas, dan kesal hilang seketika. Banyak hal
yang bisa disyukur sejak bangun tidur hingga dhuhur ini. Banyak sekali, nyaris
tak bisa disebut dalam sekali sholat. Yang paling nyata adalah kesehatan dan
keselamatan yang sudah Allah berikan cuma-cuma. Terima kasih, Alhamdulillah.
Selesai sholat, aku bersantai sejenak
dengan bapak-bapak di teras mushola. Sudah berkurang, sih, tidak sebanyak tadi.
Baru duduk sekitar lima menit, Elok datang menghampiri. Memberika kabar duka.
Ayah dari salah satu teman kantorku meninggal dunia. Sakit.
Beberapa dari kami memutuskan untuk
langsung berangkat ke rumah duka. Beberapa lagi harus tetap di kantor untuk
menunggu sampai jam pulang. Tentu saja aku dan Elok termasuk yang langsung
berangkat. Rumahnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kilometer saja.
Jadi, tidak sampai setengah jam, kami sudah sampai di tempat tujuan.
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar