Sebelumnya dibaca di sini
Lintang menggeleng. “Tidak
bisa. Sudah terlambat. Aku sudah menyatakan bersedia menikah dengannya.”
“Meski itu artinya kau
terluka? Menikahi lelaki yang tidak kau cintai?”
“Meskipun artinya begitu.”
Perempuan itu berucap lirih,
“Kau tahu, pernikahan itu bukan untuk sehari dua hari, tapi untuk selamanya.
Kau sanggup hidup bersama dengan orang yang tidak akan pernah kau cintai seumur
hidupmu?”
Lintang diam. “Tanyakan pada
dirimu sendiri, Lintang! Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Sudah yakinkah kau
dengan keputusanmu?” Perempuan itu bertanya seakan Lintang adalah narasumber
yang dibutuhkan untuk membuat tesis.
Lintang diam. Dia tidak
pernah yakin dengan keputusannya, memang. Karena dia tidak pernah tahu kenapa
ibunya menjodohkan dia tiba-tiba, dengan lelaki yang tidak dia kenal−apalagi
dia cintai. Setiap dia bertanya, ibunya selalu bilang bahwa cinta akan datang
dengan sendirinya, seiring dengan waktu. Kebersamaan dan rasa saling
membutuhkan, akan melahirkan lagu indah berjudul cinta.
Ibunya selalu percaya bahwa
Lintang akan bisa mencintai lelaki pilihan ibunya. Dan Lintang selalu percaya,
bahwa dia tidak akan pernah bisa mencintai lelaki itu. Seperti apapun dia
berusaha.
Tapi, Lintang sudah
memberikan keputusannya. Dan perempuan itu, hanya bisa menerima dan mendoakan.
Hari yang dinantikan datang
juga. Lintang sungguh cantik dengan gaun kebaya putihnya. Sanggul sederhana
dihiasi untaian melati, mempercantik penampilannya. Dia melangkah anggun menuju
depan penghulu. Duduk santun di sebelah calon suaminya. Menunggu ijab qabul
diucapkan.
Dengan bergetar, lelaki itu
mengucapkan janji pernikahan di depan penghulu dan beberapa saksi. Ibu Lintang
menangis haru. Beberapa sanak saudara mengikuti air matanya.
Lintang juga menangis. Bukan
karena haru. Melainkan karena tatapan seseorang di sudut ruangan. Seorang
perempuan dengan mengenakan kemeja warna biru laut dan celana kain berwarna
hitam. Rambutnya yang panjang terurai indah. Tatapannya nanar. Menembus
mempelai perempuan yang baru saja sah menjadi istri seseorang.
Tatapan itu seolah
menghakiminya. Lintang tak kuasa melihat. Dia menunduk seraya berbisik dalam
kalbunya, berharap bisa tersampaikan pada perempuan di sudut sana.
“Maafkan aku, Kak! Meskipun
dia sudah menjadi lelakiku, namun kau tetaplah perempuanku. Aku mencintaimu.
Tapi, kau tahu, bahkan Tuhan-pun tak merestui hubungan kita. Aku akan selalu
mencintaimu. Sampai kapanpun.”
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar