Sebelumnya di sini
Di sana, sudah banyak kerabat dari
almarhum yang hadir. Tangis isak saling bersahutan. Teman kantor kami yang
bernama bu Nunuk, menyambut kedatangan kami dengan matanya yang sembab. Kami
mengucapkan bela sungkawa bergantian. Aku memeluknya dan mendoakan semoga amal
ibadah almarhum diterima Allah dan diberikan kekuatan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Kalimat umum yang biasa diucapkan oleh kebanyakan orang jika
datang ke pemakaman. Namun, apa yang kami ucapkan memang benar-benar sesuai
dengan harapan kami. Semoga.
Bu Nunuk mempersilahkan kami masuk. Dan
sungguh kaget diri ini ketika aku melihat masih ada keranda di dalam ruang tamu
itu. Karena begitu mendapat kabar kami langsung berangkat, maka sudah pasti
jenazahnya belum dikebumikan. Kami duduk di ruangan bersama dengan keranda yang
tentunya berisi jenazah seorang manusia.
Ada perasaan yang tidak menentu dalam
hatiku. Campur aduk. Bukan karena ada keranda dan jenazah di dekatku. Tapi
lebih karena mengingat bahwa suatu hari aku juga akan berada pada posisi itu.
Perasaan yang tiba-tiba hadir itu, menggetarkanku. Melahirkan rasa takut dalam
diriku. Ya, suatu hari aku juga akan meninggal. Entah kapan, hanya Allah Yang
Maha Tahu. Dan takut itu hadir, manakala bekal untuk menghadap Sang Maha
Pemberi Hidup belumlah cukup. Sangat kurang malah. Ya Rabb, Astaghfirullahal ‘azhiim. Mendadak,
mataku panas. Aku menahan lelehan magma air mataku agar tak keluar dari gunung
mata ini.
Aku takut, Ya Rabb. Sungguh takut, hanya
dengan melihat keranda ini. Keranda yang ada bunganya dan bertuliskan
Lafadz-Mu. Laa Ilaaha illaallah. Keranda
yang berisi jenazah dari umat-Mu yang mendahului kami. Keranda yang nantinya
digunakan untuk mengusung kami menuju peristirahatan terakhir, rumah masa depan
kami. Keranda yang akan mengantar kami bertemu dengan malaikat Munkar dan
Nakir, yang akan menanyai kami. Demi Allah, sungguh menakutkan siksa kubur itu,
ketika bekal kita tidak mencukupi. Keranda yang....
“Kenapa, Nan?” tanya Elok, membuyarkan
ketakutanku.
“Tidak apa-apa,” jawabku singkat sambil
sedikit menunduk.
“Kok, seperti ketakutan begitu?”
“Hm, kerandanya, El, membuat perasaan
sedikit takut,” ucapku lagi, sedikit lirih.
“Takut kenapa?”
“Kenapa, ya? Perasaanku tidak enak saja.
Mengingatkanku bahwa suatu hari aku akan ada di situ juga. Mati.”
“Hush, ngawur saja kamu itu!”
Aku hanya diam. Pandanganku tak lepas
dari benda panjang yang ditutupi kain hijau berlafadz itu.
“Tapi, baguslah kalau begitu...,” lanjut
Elok. Aku melotot. “ya, paling tidak kita jadi ingat mati, dan akhirnya akan
lebih dekat pada Yang Maha Hidup. Lebih banyak beribadah, lebih banyak berbuat
amal, dan akhirnya menjadi manusia yang lebih baik. Iya, kan?”
“Iya juga, sih, tapi...”
“Sudah, sudah... Jangan dipikirkan lagi.
Tidak enak, kan sama yang punya rumah.”
Akhirnya aku diam lagi. Aku tidak boleh
seperti ini. Aku, kan niatnya datang untuk menghibur, bukan malah membuat
khawatir atau bersedih. Ayo, Nania, tenanglah. Nanti saja kalau mau menghiba
saat kau berkunjung lagi ke rumah Allah, atau berdua dengan Allah, batinku
menenangkan diri.
Tak beberapa lama, rombongan lelaki
berseragam tentara datang. Dari ceritanya, ternyata almarhum adalah mantan
penjuang dengan gelar terakhir Kapten. Dan sesuai dengan adat istiadat
ke-tentara-an, maka harus ada upacara militer untuk melepas jenazah. Maka
dilaksanakanlah acar tersebut. Sepuluh menit acara berlangsung, setelah itu
empat orang tentara mengangkat keranda yang sebelumnya sudah ditutup dengan
bendera merah putih, bendera bangsa Indonesia.
Sanak saudara dan beberapa pelayat ikut
mengiringi kepergian jenazah menuju peristirahatan terakhirnya. Isak tangis
kembali mendampingi keberangkatan itu. Tidak bisa tidak menangis memang, ketika
orang yang kita sayangi pergi duluan menghadap Sang Khaliq.
Dan alangkah bahagianya ketika itu
terjadi, karena itu berarti almarhum adalah orang yang sangat istimewa bagi
orang-orang di sekitarnya. Orang yang berkesan di hati orang lain, akan selalu
hidup dalam kenangan mereka. Dan itulah wujud hidup abadi sesungguhnya. Orang
yang membeerikan manfaat untuk sekitarnya.
Aku ingin demikian. Aku berharap demikian.
Saat aku lahir, aku ingin hanya aku yang meenangis, banyak orang yang
tersenyum. Dan saat aku menemui Sang Illahi, banyak orang menangis, namun aku
tersenyum. Lebih bisa menjadikan hidup yang diberikan Allah ini menjadi
bermakna dan bermanfaat untuk sekitar. Itulah bekal sesungguhnya.
Aku memandang kepergian keranda itu
dengan takjub. Sungguh, rahasia Allah. Tak tahu kapan itu menghampiri kita.
Tua-muda, sehat-sakit, sedang apa-dimana-dengan siapa, sudah siap atau belum,
semua sudah tertulis, bahkan sebelum kita hadir di dunia ini. Ya Allah Yang
Maha Mengetahui, sesungguhnya suatu hari pasti aku akan ada di sana. Semua
manusia pasti akan ada di sana. Cepat atau lambat. Namun bukan itu yang harus
kita pikirkan. Yang paling penting adalah menyiapkan bekal yang akan digunakan
untuk menempuh ‘perjalanan jauh’ itu. Perjalanan yang penting. Perjalanan yang
merupakan awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Perjalanan untuk bertemu
dengan Rabb-nya.
Semoga aku masih punya kesempatan untuk
menyiapkan bekal itu. Semoga kita masih punya kesempatan. Amin.
End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar