Sebelumnya di sini
Aya tidak menghentikan
dorongan tangan mungilnya di ayunan itu. Dia mengatakan hal seperti itu seolah
dia hanya mengatakan ‘aku lapar dan aku
ingin makan’. Tanpa ada penekanan atau vonis berlebihan padaku. Tapi,
susunan kata yang ringan itu sudah berhasil membuatku berdecak kagum.
Sebenarnya bukan karena ucapannya saja. Melainkan, karena yang bicara adalah
anak sekecil dia.
Konon, anak kecil memang
lebih peka dibandingkan manusia dewasa. Semakin berumur seseorang, semakin
terkikis sifat kepekaannya. Berganti dengan ke-ego-an, ke-sewenang-an,
ke-semau-gue-an, ke-tidakpeduli-an. Dan Aya, belum kehilangan itu. Semoga.
Aku tersenyum, lalu
menghentikan ayunan yang bergerak lambat ke belakang dan ke depan. Aya melangkah
ke hadapanku. Matanya yang hitam bening menatapku. Menembus dengan
kepolosannya.
“Mbak Lintang tidak sedih,
kok, Ay. Mbak Lintang hanya lelah.”
“Kalau begitu Mbak istirahat
saja di dalam. Tidak usah main di luar. Biar nanti tidak lelah lagi,” ucapnya.
Tangan mungilnya memegang tanganku.
Aku sedikit tertegun. Mana
mungkin dari tangan sekecil ini bisa melahirkan rasa hangat seperti ini? Atau
hanya karena hati ini tengah galau?
“Aya main saja sama
teman-teman. Mbak tidak apa-apa, kok. Mbak masih ingin di sini, Ay. Tidak
apa-apa, kan?” Aku tidak menunggu anggukan atau−mungkin−gelengan kepala
mungilnya. Aku hanya menatap mata hitamnya yang seolah menenggelamkanku.
Tapi, toh ternyata dia mengangguk juga. “Baiklah, kalau begitu Aya ke
teman-teman dulu, ya?”
Aku mengangguk sambil
mengelus poninya. “Dah, Mbak Lintang!” serunya, melambaikan tangannya sambil
berlari kecil. Menuju dunia kanak-kanaknya.
Nafas panjang terdengar
keluar sepeninggal Aya. Ponsel ditanganku memunculkan lampu merah kecil yang
berkedip-kedip. Tanda ada pesan yang masuk. Aku memang sengaja mematikan suara
ponselku. Takut Ibu tahu kalau-kalau ada telepon atau pesan yang masuk.
Maklumlah, tingkat kecurigaan Ibu meningkat drastis menjelang hari
pernikahanku. Lampu merah yang berkedip inilah yang memberitahuku dan seolah
berkata, “Hei, Lintang, ada pesan masuk!”
Aku membuka pesan masuk di
ponselku. Aku akan datang. Begitu
isinya. Hanya sebuah pesan singkat. Seolah pengirimnya mengirim melalui
telegram, yang biayanya tergantung dari jumlah hurufnya. Aku tidak membalasnya.
Aku hanya tersenyum−dan bersyukur.
Anak-anak kecil berlarian
tanpa beban. Tersenyum selebar mungkin sebisa mereka. Aku menatap jauh menembus
senyuman mereka. Ke sebuah tempat, berharap tatapan itu akan tersampaikan.
{{{{{
Di sebuah sudut kamar
berukuran tiga kali empat, terduduk seorang perempuan bertubuh semampai. Dalam
keremangan, wajahnya tersiram cahaya lampu depan rumah, yang menembus ke dalam
ruangan tanpa ijin. Menampakkan air yang tengah mengalir di tebing pipinya.
Tidak deras, namun cukup membuat banjir di muara bibirnya.
Di tangannya, ada sehelai
foto. Ada sisa-sisa air di permukaan foto itu. Foto dua orang perempuan yang
tengah tertawa ceria dengan latar sebuah laut. Itu foto Lintang dan dirinya.
Itu foto tanpa beban miliknya.
Sungguh pukulan keras saat
dia mendengar kabar bahwa Lintang akan menikah. Dia tahu pasti Lintang tidak
mencintai lelaki itu. Lelaki pilihan ibunya. Lelaki yang kata ibunya bisa
membahagiakan putri semata wayangnya itu. Tapi, dia tahu benar, Lintang tidak
akan bahagia.
“Jadi, Ibumu menjodohkanmu
dengan lelaki itu?” tanyanya pada suatu sore, dengan gerimis dan secangkir
kopi.
Lintang mengangguk.
Perempuan itu menghela
nafas, “Kau menerima perjodohan itu, Lin?” tanyanya. Lintang mengangguk.
“Kenapa kau menerimanya?”
“Karena aku ingin berbakti
pada ibuku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa, apalagi bersedih.”
Perempuan itu menekan
suaranya, “Aku tahu siapa yang kau cintai. Dan aku tahu, kau tidak akan
bahagia. Urungkan saja, Lintang!”
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar