Minggu, Januari 06, 2013

Antara Lelakiku dan Perempuanku (2)

Sebelumnya di sini

Aya tidak menghentikan dorongan tangan mungilnya di ayunan itu. Dia mengatakan hal seperti itu seolah dia hanya mengatakan ‘aku lapar dan aku ingin makan’. Tanpa ada penekanan atau vonis berlebihan padaku. Tapi, susunan kata yang ringan itu sudah berhasil membuatku berdecak kagum. Sebenarnya bukan karena ucapannya saja. Melainkan, karena yang bicara adalah anak sekecil dia.
Konon, anak kecil memang lebih peka dibandingkan manusia dewasa. Semakin berumur seseorang, semakin terkikis sifat kepekaannya. Berganti dengan ke-ego-an, ke-sewenang-an, ke-semau-gue-an, ke-tidakpeduli-an. Dan Aya, belum kehilangan itu. Semoga.
Aku tersenyum, lalu menghentikan ayunan yang bergerak lambat ke belakang dan ke depan. Aya melangkah ke hadapanku. Matanya yang hitam bening menatapku. Menembus dengan kepolosannya.
“Mbak Lintang tidak sedih, kok, Ay. Mbak Lintang hanya lelah.”
“Kalau begitu Mbak istirahat saja di dalam. Tidak usah main di luar. Biar nanti tidak lelah lagi,” ucapnya. Tangan mungilnya memegang tanganku.
Aku sedikit tertegun. Mana mungkin dari tangan sekecil ini bisa melahirkan rasa hangat seperti ini? Atau hanya karena hati ini tengah galau?
“Aya main saja sama teman-teman. Mbak tidak apa-apa, kok. Mbak masih ingin di sini, Ay. Tidak apa-apa, kan?” Aku tidak menunggu anggukan atau−mungkin−gelengan kepala mungilnya. Aku hanya menatap mata hitamnya yang seolah menenggelamkanku.
Tapi, toh ternyata dia mengangguk juga. “Baiklah, kalau begitu Aya ke teman-teman dulu, ya?”
Aku mengangguk sambil mengelus poninya. “Dah, Mbak Lintang!” serunya, melambaikan tangannya sambil berlari kecil. Menuju dunia kanak-kanaknya.
Nafas panjang terdengar keluar sepeninggal Aya. Ponsel ditanganku memunculkan lampu merah kecil yang berkedip-kedip. Tanda ada pesan yang masuk. Aku memang sengaja mematikan suara ponselku. Takut Ibu tahu kalau-kalau ada telepon atau pesan yang masuk. Maklumlah, tingkat kecurigaan Ibu meningkat drastis menjelang hari pernikahanku. Lampu merah yang berkedip inilah yang memberitahuku dan seolah berkata, “Hei, Lintang, ada pesan masuk!”
Aku membuka pesan masuk di ponselku. Aku akan datang. Begitu isinya. Hanya sebuah pesan singkat. Seolah pengirimnya mengirim melalui telegram, yang biayanya tergantung dari jumlah hurufnya. Aku tidak membalasnya. Aku hanya tersenyum−dan bersyukur.
Anak-anak kecil berlarian tanpa beban. Tersenyum selebar mungkin sebisa mereka. Aku menatap jauh menembus senyuman mereka. Ke sebuah tempat, berharap tatapan itu akan tersampaikan.
{{{{{
Di sebuah sudut kamar berukuran tiga kali empat, terduduk seorang perempuan bertubuh semampai. Dalam keremangan, wajahnya tersiram cahaya lampu depan rumah, yang menembus ke dalam ruangan tanpa ijin. Menampakkan air yang tengah mengalir di tebing pipinya. Tidak deras, namun cukup membuat banjir di muara bibirnya.
Di tangannya, ada sehelai foto. Ada sisa-sisa air di permukaan foto itu. Foto dua orang perempuan yang tengah tertawa ceria dengan latar sebuah laut. Itu foto Lintang dan dirinya. Itu foto tanpa beban miliknya.
Sungguh pukulan keras saat dia mendengar kabar bahwa Lintang akan menikah. Dia tahu pasti Lintang tidak mencintai lelaki itu. Lelaki pilihan ibunya. Lelaki yang kata ibunya bisa membahagiakan putri semata wayangnya itu. Tapi, dia tahu benar, Lintang tidak akan bahagia.
“Jadi, Ibumu menjodohkanmu dengan lelaki itu?” tanyanya pada suatu sore, dengan gerimis dan secangkir kopi.
Lintang mengangguk.
Perempuan itu menghela nafas, “Kau menerima perjodohan itu, Lin?” tanyanya. Lintang mengangguk. “Kenapa kau menerimanya?”
“Karena aku ingin berbakti pada ibuku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa, apalagi bersedih.”
Perempuan itu menekan suaranya, “Aku tahu siapa yang kau cintai. Dan aku tahu, kau tidak akan bahagia. Urungkan saja, Lintang!”

bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar