Sebelumnya yang pertama
Sebelumnya yang kedua
"Ya... aku memang tidak terlalu dekat dengan kalian,
tapi aku cukup tahu dan memperhatikan sepak terjang hubungan kalian. Meski
hanya berlabel ‘sahabat’, tapi aku bisa melihat kalau hubungan kalian istimewa.
Dan kehadiran Farah, cukup menggeser sedikit keistimewaan hubungan itu!” Rendra
menjelaskan penilaiannya.
“Huh?” aku melenguh. “Itu hanya pikiranmu sendiri,”
ucapku. Enggan rasanya membahas masalah ini. Keinginanku untuk tidak memikirkan
mereka sepertinya harus ditunda.
“Tidak juga. Aku bisa merasakannya. Tapi, kamu harus
tahu, se-istimewa apapun hubungan kalian, tetap saja komitmennya adalah ‘hanya
bersahabat’, artinya kamu harus siap dan
bisa mengerti ketika Wisnu memutuskan untuk ‘jalan’ dengan perempuan lain.
Bukan malah selalu menampakkan wajah sini tiap kalian bertiga bertemu.”
“Apa, sih yang kamu tahu tentang hubungan istimewa,
Ren? Selama ini memangnya pernah kamu merasakan itu? Luntang-lantung ke sana
kemari tanpa ada kejelasan. Sahabat perempuan tidak ada, apalagi pacar. Semua
cuma numpang lewat dalam kehidupanmu. Jangan sok peduli pada hubunganku dengan
Wisnu... dan jangan ikut campur!” ucapku emosi. Tidak ingin perasaanku
dicampuri pihak luar.
Mendengar tanggapanku, Rendra hanya tersenyum simpul.
Lalu bangkit dari duduknya dan menuju pintu keluar.
“Aku mau ke kantin dulu. Bersantailah di sini!”
ucapnya sambil mengikat tali sepatunya.
Tiba-tiba rasa sesal menyelinap di hatiku. Aku sudah
mengatakan hal yang menyakitkan pada laki-laki di depanku ini. Padahal, bisa
dibilang kami sering berbincang dan tak jarang pemikirannya bisa membantuku
keluar dari masalah. Sekarang, dia justru terkena imbas emosiku.
“Ren...!” panggilku. Rendra menghentikan aktivitasnya
dan menoleh padaku.
“Ya?” ucapnya melihat aku justru terdiam setelah
memanggilnya.
“Aku... Fiuffhh...!” Bukannya bicara, aku malah
memotong kalimatku dengan helaan nafas. Rendra langsung mengerti. Dia
melepaskan lagi sepatunya, lalu masuk dan duduk di sampingku. seperti posisi
awalnya tadi.
“Kalau kamu butuh telinga, nih aku pinjamkan. Silahkan
mencurahkan apa yang membebanimu!” ucapnya tersenyum dan memainkan kedua
telinganya hingga bisa bergerak maju-mundur. Mau tidak mau aku tersenyum juga.
“Maaf... aku sudah mengatakan sesuatu yang
menyinggungmu...”
“Ah, jangan dipikirkan! Santai saja. Seperti baru
kenal kemarin saja!” katanya memotong ungkapan maafku. “Nah, apa yang membebani
pikiranmu?”
“Mungkin kamu benar. Hubungan istimewa yang kujalin
dengan Wisnu sudah terlalu lama, hingga membuatku merasa bahwa hanya aku yang
pantas di sisinya. Aku merasa kalau aku yang paling mengerti dia. Aku yang
paling tahu semua hal tentang dia. Aku lupa kalau dia juga butuh kehidupan
lain. Bukan hanya teman, tapi dia juga butuh cinta. Aku melupakan itu.”
“Aku ingin dia bahagia. Tapi, alih-alih menginginkan
hal itu, aku malah selalu sinis tiap dia mengenalkanku dengan perempuan lain.
Meski tidak selalu perempuan itu menjadi kekasihnya. Aku selalu menunjukkan
sikap yang tidak menyenangkan seolah aku tidak setuju dengan pilihannya.”
“Kehadiran Farah yang tiba-tiba membuatku merasa
tersingkir. Aku tidak terbiasa ada perempuan lain yang tahu apa kesukaan Wisnu,
bagaimana Wisnu, dan semua hal tentang Wisnu. Mengejutkan ketika aku tahu bahwa aku bukan lagi orang pertama yang
tahu tentang hal-hal yang dilakukan atau dialami oleh Wisnu. Bukan merasa
tersaingi, hanya saja... aku belum siap kehilangan sahabat seperti Wisnu.
Apakah ini cinta atau bukan, aku tidak tahu pasti. Apakah aku hanya menganggap
Wisnu sebagai sahabat atau lebih, aku tidak yakin. Yang kutahu, aku tidak ingin
Wisnu menyingkirkanku.”
Tumpah sudah apa yang kurasakan selama ini. Lancar,
tak terkendali. Seolah seperti air yang meluap. Aku tidak menangis atau
mengharu biru seperti dalam sinetron. Meski suaraku terdengar berat. Huh, air
mata yang tak keluar dan tangisan yang bisu itu sungguh lebih menyakitkan
dibanding bisa meneriakkannya lantang-lantang. Benar saja, dalam dada yang
tadinya terasa sangat menyesakkan, sekarang sudah terasa longgar. Seperti ada
yang mengambil separuh bebannya.
Rendra mendengarkan setiap kalimatku dengan tenang.
Tidak ada celotehan yang memotong ucapanku seperti yang biasa dilakukan saat
kami bercanda. Dia tahu situasinya serius. Siaga satu. Satu-satunya yang
kudengar dari mulutnya adalah desahan nafas panjang dan berat. Lalu disambung
dengan geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
“Hm... sepertinya masalahmu benar-benar serius, ya?”
ucapnya sambil mengusap dagunya. Berlagak seperti detektif yang tengah
memikirkan pemecahan sebuah kasus.
“Sudahlah, aku sendiri heran, kenapa aku malah cerita
sama kamu,” ucapku sambil memencet remote di tanganku. Entah mau mencari acara
yang seperti apa.
“Maaf, maaf... “ ucapnya. “Aku tahu bagaimana
perasaanmu. Karena akupun pernah mengalaminya. Tidak selama kalian, sih
bersahabatnya, tapi cukup membuatku merasakan tidak menyenangkannya
kehilangan.”
Aku tidak mengalihkan pandanganku dari televisi. Sama
dengan yang kulakukan tadi.
“Aku tidak punya hak memberi saran untukmu, tapi
mungkin aku bisa mengatakan beberapa hal. Dan semoga saja bisa sedikit
mambantumu.”
Akhirnya aku menoleh dan menyimak ucapannya kemudian.
“Sahabat itu, menurutku seperti sandal. Sedangkan
pacar atau kekasih, itu lebih seperti sepatu. Layaknya sepatu, mereka memang
ada untuk diperlihatkan pada khalayak. Untuk dibawa ke muka umum. Tapi, saat
kita inginkan kenyamanan, santai tanpa harus jaga wibawa, dan ingin menjadi
diri sendiri, kita akan lebih memilih sandal. Iya, kan?”
“Aku yakin, kok, Wisnu tidak akan meninggalkanmu.
Tapi, saat ini dia juga tidak bisa meninggalkan Farah. Jadi, jangan memaksanya
memilih.”
“Aku tidak memaksanya memilih, Ren,” ucapku membela
diri.
“Maaf, ya... tapi, sikapmu yang seperti itu, secara
tidak langsung sama dengan menyuruhnya memilih antara kamu atau dia,” jelas
Rendra.
“Dengar, Ras, tidak ada yang salah dengan menjadi
sahabat, kan? Aku yakin tempatmu di hati Wisnu lebih besar dibanding
pacar-pacarnya. Jangan sampai itu tergeser hanya karena kamu bersikap seperti
ini. Bergaulah dengan gadis yang dipilih menjadi kekasihnya. Kenali mereka,
agar kamu bisa memberi penilaian yang objektif. Aku tebak, Wisnu masih datang
padamu, kan untuk menanyakan pendapatmu tentang pacar-pacarnya?” Aku
mengangguk.
“Dan... apapun yang kamu katakan, dia biasanya akan
langsung berpikir untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan hubungannya, iya
kan?”
“Kebanyakan seperti itu,” jawabku.
“Bukan kebanyakan, tapi memang seperti itu. Bukankah
itu tanda bahwa dia ingin kamu tetap menjadi bagian dari dirinya. Agar kamu
tetap merasa nyaman dan tidak merasa tersingkir. Hargailah usahanya, Teman! Aku
ini laki-laki, bagi kami, sahabat adalah segalanya. Lebih penting daripada
sekedar pacar, orang yang baru datang dalam hidup kami. Begitupun yang
dirasakan Wisnu.”
Benarkah begitu?
“Lalu, aku harus bagaimana?”
“Tersenyumlah. Padanya... dan pada kekasihnya... atau
siapapun orang yang dekat dengannya. Berilah semangat dan dukunganmu buatnya.
Dengan selalu ada untuknya, lambat dia akan tahu bahwa kamu itu lebih dari
istimewa.”
“Laki-laki itu tidak butuh perempuan yang cantik,
seksi dengan dandanan yang aduhai, kok. Ya, tidak dipungkiri bahwa kamu suka
dengan perempuan model begitu. Tapi, hanya untuk jalan-jalan, nonton, atau
sekedar jaga gengsi. Tapi...” Rendra menekankan kata ‘tapi’. “saat mereka butuh
sosok yang lebih dari itu, mereka akan mencari perempuan yang bisa membuatnya
nyaman, tenang, dan bisa membuat mereka menjadi dirinya sendiri. Sosok calon
ibu yang ideal untuk membangun keluarga dan anak-anak mereka nanti. Percaya,
deh!”
“Sebuah sandal, hah?” aku tersenyum mengejek.
“Hahaha... ya, ya... sebuah sandal. Tapi, sebuah
sandal yang berharga. Sama berharganya dengan sepotong senyuman.”
“Fiuffh...” Aku menghela nafas lagi. “Tak kusangka
bicara denganmu bisa membawa kelegaan seperti ini, ya.”
“Hei, makanya jangan suka menilai orang dari luarnya
saja. Penampilan boleh acak-acakan begini, tapi hatiku itu paling sensitif dan
peka pada lingkungan.”
“Hahaha... ya, bungkus, deh!” jawabku sambil tertawa.
“Ehm, tapi apa kau yakin, dia... maksudku Wisnu memang mengharapkan aku,
sahabatnya ini berada di sampingnya?”
“Aku, sih tidak yakin seratus persen. Karena perasaan
manusia tidak ada yang bisa tahu, kan? Tapi, selama ini yang kutahu kalau pergi
dengan pacarnya, Wisnu tidak pernah pergi jauh. Maksudnya, perginya itu selalu
yang dekat-dekat sini, atau mudah kamu jangkau.”
“Hah? Apa hubungannya dengan itu?”
“Supaya ketika kamu berubah pikiran, dan ingin
menyusulnya, kamu tidak akan kesulitan.” Aku memandang Rendra tak percaya.
“Sekarang kamu tahu, kan.. Yang menjadikan kamu jauh darinya adalah dirimu
sendiri. Kamu yang membuat benteng itu sendiri. Kamu... yang melahirkan
anggapan itu, Ras. Wisnu selalu berusaha mendekatkan kamu dengan kekasihnya,
bukan hanya agar kamu tidak merasa tersingkir, melainkan agar dia tidak
kehilangan sahabat terbaiknya.”
Aku takjub dengan apa yang dikatakan Rendra. Dia bisa
berpikir sejauh itu? Atau jangan-jangan hanya perasaannya saja, ya?
“Eh, tapi darimana kamu tahu itu semua? Bukan cuma
perkiraanmu saja, kan?”
“Siapa dulu... Rendra!!” jawabnya sambil menepuk
dadanya.
“Serius, Ndra!” ucapku sambil melotot.
“Hehehe... “ Rendra meringis. “Tahu, tidak? Selama
kamu menjauh dari Wisnu, dia kan jadi tidak punya teman berbagi cerita. Nah, di
situlah keberadaan Syailendra Wibisono sangat berguna,” ucapnya lagi. Nama yang
disebutnya itu adalah namanya sendiri. “Dia datang kemari, sepertimu begini,
menceritakan keadaan hatinya, sepertimu juga, lalu.... kami jadi dekat!”
lanjutnya.
Aku manggut-manggut menyetujui ceritanya. Apapun itu,
benar atau tidak, sedikitnya aku bisa tenang. Dan sekarang aku akan
menghampirinya sebagai sahabat. Tidak apa, kan?
Aku bangkit, setengah tergesa aku memakai sepatuku.
“Lho, mau kemana?”
“Mengirim sepotong senyuman!” jawabku singkat sambil
mengikat tali sepatuku.
“Hmm, jadi aku ditinggal, nih setelah diganggu
ketenanganku?”
Aku tersenyum sambil memandangnya, “Sandal itu...
tidak perlu dibawa keluar. Tunggu sini saja, ya!”
“Hei... Dasar!” ucapnya sambil melemparku dengan
bongkahan kertas. Lalu kami tertawa bersamaan. “Good luck, ya! Berikan senyuman paling tulusmu, agar dia tahu kamu
selalu ada buatnya!”
Aku mengacungkan jempol, kemudian berlalu pergi.
Setengah berlari menyusul ‘sandalku’ yang tengah bersama ‘sepatunya’. Siapa
tahu, dia butuh kenyamanan.
Rendra memandang Laras yang berlari makin jauh.
Tersenyum penuh arti.
Yah, mungkin saat ini, aku lebih baik menjadi ‘sandalmu’ dulu. Tapi, aku
akan berusaha lebih keras hingga suatu hari nanti, aku bisa menjadi ‘sepatu’
sekaligus ‘sandal’ bagimu, Ras!
Rendrapun, mematikan televisinya lalu melangkah menuju
kantin.
End