Selasa, Maret 26, 2013

Pertanyaan itu muncul lagi

Dan akhirnya pertanyaan itu muncul lagi. Kenapa harus kamu, Vin? Kok bisa ga jadi? Kalau kalian sama-sama belum beranjak menikah, kenapa kalian putus dulu? Kenapa tidak balikan saja?

Ah, hela nafas sejenak.

Mendengar tanya itu, aku tersenyum sebentar. Hhh... cerita itu sudah dua tahun yang lalu, tapi masih saja banyak yang bertanya. Setiap bertemu dengan orang baru atau teman lama, beberapa diantaranya, entah tahu darimana, selalu menanyakan hal yang sama.

Aku tidak keberatan. Tapi, itu artinya mau ga mau aku harus membuka kembali album yang perlahan kututup. Membukanya berarti mengingatnya kembali. Bukan, aku tak pernah bermaksud melupakan itu. Karena setuju atau tidak, aku banyak mengambil pengalaman dari kisah lampau. Paling tidak aku bisa lebih berhati-hati memilih hati yang baru.

Sebenarnya, aku tidak lagi sedih mengingatnya. Kalau pertanyaan itu muncul dua tahun yang lalu, sebulan setelah cerita itu berakhir, atau enam bulan setelah hubungan itu kandas, mungkin aku akan menjawab betapa hancurnya hatiku, depresi, stress, sedih dan terpuruk.

Tapi, dalam perjalanan sampai aku berdiri di sini, aku mengerti bahwa itu bukan sedih. Aku banyak belajar dan menemukan hal lain untuk membantuku mengatasi hal itu.

Itu bukan sedih. Mungkin boleh stress, tapi bukan alasan untuk terpuruk. Teman perempuanku yang masih mempunyai putra balita, harus kehilangan suaminya karena musibah. Itu yang disebut sedih. Sahabat perempuan yang kehilangan janinnya di saat dia begitu mendamba seorang bayi. Itu yang disebut sedih. Sahabat lelaki yang harus kehilangan putranya. Itu yang disebut sedih.
Perpisahanku bukan apa-apa. jika aku rindu padanya suatu hari nanti, aku masih bisa melihatnya. Berbincang dengannya, mungkin. Menurutku, itu lebih tepat disebut kecewa. Saat harapan tak sejalan dengan kenyataan. Tapi mereka yang dipisahkan oleh dimensi, tak dapat lagi bersua. Itulah yang disebut kesedihan.

Kalau mereka bisa bertahan dengan kehilangan dan perpisahan itu, tak ada alasan bagiku untuk menyerah.

Aku tidak pernah menyalahkan siapapun atas kejadian yang menimpaku. Tidak juga menyalahkan seorang gadis yang mencintai sang mantan jauh sebelum hubungan kami selesai. Dan akhirnya masuk saat hatinya gersang. Meskipun ada rasa sakit yang luar biasa, karena mereka bersama hanya dalam kurun waktu 2 bulan setelah berpisah dariku, aku tetap tak bisa menyalahkan mereka. Gadis itu hanya pandai mengambil momen, dan aku bodoh saat melepaskan itu. Apapun itu, baik atau buruk, aku lebih mengembalikan semuanya pada diriku sendiri. Saat aku menyadari itu, aku bisa melangkah dengan lebih ringan.

Kisahku dengan lelaki berinisial AB itu, resmi aku tutup dua tahun yang lalu. Seperti sebuah pelajaran sekolah yang berakhir dengan ujian. Asaku hanyalah semoga aku bisa lulus dengan baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar