Kau ingat punggung ini?
Aku ingat. Sangat ingat. Bahkan aku tak perlu menutup mata dan mengobrak-abrik laci memoriku untuk mengambil arsip tentang ini.
Aku ingat kapan aku mengambil gambar ini, dan melihatnya jelas dari belakangmu.
Aku ingat jalan ini, yang tiap pagi kita susuri untuk sampai ke kelas, dan bukannya belajar, melainkan malah bermain Zuma, Zombie Vs Plant, Pelihara Ayam dan ikan, dan permainan lainnya.
Rindu ini kembali membuncah. Seperti malam yang merindukan hadirnya bulan dan bintang untuk menemaninya. Seperti siang yang merindukan matahari, yang tanpanya maka pekat lah yang hadir. Seperti hujan yang selalu menunggu di akhir tahun. Seperti senja yang menyulam merah di ufuk barat, menunggu sang mentari terlelap.
Kehadirannya memang hanya sebentar.
4 Bulan.
120 hari lebih sedikit.
7200 jam lebih sedikit.
432000 menit lebih sedikit.
(25.920.000) detik lebih sedikit.
Menyulam setiap malam lewat canda, nyanyian dan petikan gitarnya di atas atap lantai tiga. Membingkai setiap pagi dengan mengambil sinar sang surya yang masih mengecil, meletakkannya dalam hati, sebagai penyemangat hari ini. Senyuman tak pernah lepas sebagai pigura apik di wajah tomboy-nya.
Aku mengingatnya. Setiap pagi, derap sepatunya yang tengah digunakan untuk berlari kecil menuju ujung jalan. Bunyi tak-tok-tak-tok, pukulan bola pingpong di meja depan kamar. Ketukan pintu ringan, tanpa ajakan ke ruang makan. Bunyi tuts keyboard laptop tanpa dia tengah asyik dengan ZUMA-nya. Tingkah tomboy dan gaya santainya dengan kesederhanaan yang bijak. Kata-katanya yang mendinginkan dan membuatku lebih dewasa dan tegar.
Aku mengingatnya. Suatu hari, gerimis pagi, yang tumpah bersama air mataku. Aku melihatnya pergi. Pulang meninggalkan bumi shindan. Tempat yang membuatku 'bergantung' padanya. Yang membuatku bisa tersenyum kembali. Tinggal 1 bulan lagi, tapi kau tak mau menunggu. Aku mengingat setiap kata-katamu. Entah candaan... atau serius.
Aku mengingat kau hanya menyisakan punggungmu untukku. Bukan balikan wajah dan lambaikan tangan. Hanya sebuah punggung. Dan sebuah janji.
"Suatu hari, kita pasti bertemu lagi!"
Kutanamkan itu, dan aku mulai bermimpi. Mimpi yang terajut dengan doa dan terbingkai dengan air mata. Mimpi yang terbentuk atas nama kerinduan pada saudara perempuanku, hadiah dari Tuhan pada Ulang tahunku yang ke - 26. Mimpi
yang selalu mengingatkanku untuk tegar. Mengingatkan bahwa Tuhan tidak
akan membawa aku sejauh ini hanya untuk meninggalkanku. Mimpi yang
selalu berkata bahwa aku istimewa. Mimpi
itu, yang telah membuatku tegak kembali, tanpa air mata lagi, bernama
BERNADETH BIRANA
SELAMAT SETAHUN PERPISAHAN KITA, KAK.
Aku berharap, mimpi itu akan segera berwujud nyata. Bukan hanya lewat udara, atau suara. Tapi, lewat fisik >> yang bisa kerangkul dan kujabat. Ku harap, 'suatu hari' yang kau ucapkan itu benar-benar akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar