Menghadiri pernikahan seorang sahabat sore ini. Langit sudah tampak mendung. Dalam hati-pun tak berhenti memohon pada Sang Pemilik langit untuk tidak dulu menurunkan airnya. Dan, alhamdulillah karena hujan tidak turun selama perjalanan ke tempat pernikahan. Tidak, bukannya tidak turun, tapi dia singgah dengan rintiknya.
Bertemu dengan beberapa teman di sana sama dengan masuk dalam dunia pertanyaan, dengan siapa sekarang?, kamu kapan nyusul?, Eh ambil bunga sedap malamnya, gih, biar cepet nyusul, dan segala pertanyaan sejenis lainnya. Ketika aku menjawab, tidak dengan siapa-siapa, belum tahu, dan sebagainya, munculnya kalimat-kalimat simpatik yang mendoakan aku cepat menyusul ke pelaminan. Sebuah tempat yang diimpikan oleh sebagian sebar perempuan. Anehnya, beberapa yang tanya adalah single fighter juga. Artinya mereka sendiri belum menikah! Ya, mungkin unggulnya hanya mereka punya pacar, itu saja.
Akhirnya, entah karena keseringan ditanya hingga bikin bosan menjawab atau lagi ingin cari sensasi, jadilah aku menghidupkan sebuah tokoh khayal yang dampaknya mungkin di luar perkiraan. Ya, tokoh pangeran berkuda. Gambaran seorang laki-laki gagah, tampan, dan prince charming, yang datang untuk menolong sang putri, yang tengah bingung dan kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol. Aku mengatakan begitu, karena semua hal di dunia ini terjadi karena sudah ada Sutradara dengan Skenario terbaiknya.
Tokoh pangeran berkuda itu ku panggil Si Sumbu Cartesius. Hahaha, itu sebutan spontan yang kuberikan karena celetukkan seorang teman. Karena aku memang belum tahu akan memberi nama apa. ada beberapa nama yang kusiapkan. Nama dari seseorang yang mendekat padaku. Bukan, bukan seseorang. Tapi, ada beberapa orang. Pangeran itu datang dengan membawa janji hatinya. Janji hati yang entah benar atau tidak. Yang pasti aku belum memutuskannya.
Aku baru saja menutup sebuah buku yang mengisahkan tentang suatu hubungan yang tidak berhasil antara sang putri dengan pangeran berkuda terdahulu. Aku harus menunggu. Jiwa dan emosiku –kurasa- belum stabil untuk memutuskan sebuah hubungan akan dibawa kemana. Tentunya, tidak pernah ada dalam sebuah kisah dongeng manapun yang bercerita sang putri yang patah hati, memilih pangeran lain sebagai pelariannya dan akhirnya menyakiti sang pangeran.
Emosiku harus benar-benar stabil untuk bisa berhubungan lagi dengan pangeran manapun. Hingga akhirnya hubungan itu bisa berakhir dengan happy ending. Tidak akan ada lagi air mata yang hadir, rasa sesak yang menyiksa, dan kaki yang tak lagi mampu berdiri bertahan. Hanya akan ada senyuman.
Sesering itu aku memikirkan sang pangeran berkuda, tiba-tiba seraut wajah muncul dengan frekuensi yang hampir sering. Dalam mimpi atau dalam kekosongan jiwaku yang tengah melamun. Wajah itu, aku mengenalnya. Aku pernah bersamanya dulu, ketika usia belum se-dewasa ini. Ketika seragam putih-abu-abu masih melekat di badan sejak pagi hingga sore hari. Aku pernah mengaguminya dulu. Saat kesantunan, ke-diam-an, dan senyum selalu melekat dna terbawa kemanapun langkahnya pergi.
Tapi, apakah dia pangeran berkudaku? Si sumbu cartesius? Sebenarnya, aku berharap semoga memang dia. Hanya saja, aku masih takut untuk memimpikannya. Aku belum ingin memimpikannya, apalagi mengharapkannya. Karena bagiku, -mengakui atau tidak- pangeran berkudaku yang lalu, masih sering hadir dan mengetuk mimpi malamku. Tak dapat kuhindarkan.
Saat ini, aku tengah berusaha keras agar dapat menjadi perempuan –sang putri- yang pantas di cintai Pangeran berkuda. Hingga suatu hari nanti, dapat kuberi nama dia, Pangeran Berkudaku. Sebuah nama yang bisa kupanggil, bukan lagi Sumbu Cartesius.
pangeran berkuda akan menjemputmu dari tempat yg tidak terduga.. percayalah. hehehe..
BalasHapus