Suatu hari, ketika jam istirahat, udara yang panas dan sinar matahari yang terik membuatku (dan beberapa orang dikantor) malas untuk keluar makan siang. Mau menyuruh orang pun tidak bisa, karena bapak yang biasanya dimintai tolong beli makanan sedang tidak ada di tempat. Alhasil, kami yang ada di kantor hanya bisa makan makanan ringan semacam kacang, kripik, dan beberapa makanan yang tidak mengenyangkan perut.
Tapi, sungguh beruntung, belum habis satu bungkus makanan itu, dari kejauhan terdengar bunyi tok...tok...tok... suara sebuah bambu yang dipukul dengan kayu, bunyi khas dari penjual gado-gado. Sambil setengah berlari keluar dari kantor agar tidak kehilanggan jejaknya, saya memanggil si penjual gado-gado.
Tukang gado-gado (yang ternyata adalah seorang laki-laki tua) menoleh dan memutar balik gerobaknya menuju kantorku.
Berapa, Bu? tanyanya sopan sambil mengusap peluh keringat yang mengalir deras di wajahnya.
Enam, Pak. sambalnya di sendirikan saja, ya, jawabku. Dia mengangguk dan mulai mengerjakan pesananku.
Kuamati raut wajah lelaki penjual gado-gado itu. Kuperkirakan usianya lebih dari enam puluh tahun. Namun, tangan dan kakinya masih kuat untuk mendorong gerobak gado-gado ini, yang pastinya tidak ringan. Menyusuri jalan, menantang sinar matahari yang sangat panas demi mencari rejeki agar keluarganya bisa tetap makan.
Selesai makan gado-gado, lalu saya membayarnya. Bukannya menaruh pada kotak uang seperti yang lazim dilakukan penjual-penjual lainnya, tapi bapak itu memasukkannya pada tiga tempat yang berbeda.
Yang pertama, ditaruhnya di laci gerobak, yang kedua di sakunya, dan yang ketiga di sebuah kotak kayu.
Lho, kok di pisah, Pak? tanyaku penasaran.
Iya, biar ndak campur antara yang buat saya, yang buat orang lain, sama yang buat agama saya.
Saya kok nggak ngerti, ya, Pak? maksudnya apa, tho?
Ya, yang buat saya itu, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kalau yang untuk orang lain, kan, karena agama juga menganjurkan untuk berbagi dengan sesama –infaq, sedekah, atau apa saja yang bisa meringankan beban saudara kita, dan yang terakhir, saya itu ingin sekali pergi ke rumah Allah
aku tidak percaya mendengar jawaban dari bapak tua penjual gado-gado di depanku ini. Sederhana, tapi sangat menyentuh. Malu rasanya berhadapan dengan orang seperti beliau. Kita memiliki nasih lebih baik dan beruntung, tapi tidak pernah memiliki fikiran seperti itu. jangankan untuk membantu, berencana membantu saja belum tentu ada dalam benak kita. Ego yang tinggi sebagian manusia kadang mengalahkan segalanya. Meremehkan apa yang rendah di bawah kita. Dan sering mengelak atas nama (ketidak)mampu(an) dan (ketidak)punya(an)
Bukankah haji itu untuk yang mampu, Pak? Ya, tenaga, ya biaya... tidak perlu memaksa kalau memang belum mampu, kan?
Mampu menurut siapa, Bu? Bukan menurut Pak RT atau Pak RW atau Pak Lurah, kan? Mampu itu, kita sendiri yang menentukan. Karena itu berhubungan langsung dengan kita. Sama dengan sanggup atau tidak, bisa atau tidak, berani atau tidak. Semua hal itu adalah kita sendiri yang menentukan. Kalau kita menghakimi diri kita tidak mampu, tidak sanggup, tidak bisa, tidak berani, maka itu juga-lah yang akan kita rasakan. Tapi, kalau kita memvonis diri kita mampu, sanggup, bisa dan berani, maka Insya Allah, Allah akan memudahkan segala jalan kita.
Subhanallah... seorang tukang gado-gado tua yang (mungkin) tidak pernah merasakan pendidikan sampai tinggi, namun memiliki pemikiran yang mulia dan luar biasa.
Siang ini, di bawah siraman terik matahari, aku merasakan kesejukkan yang nyata dari ucapan si penjual gado-gado. Pelajaran berharga yang diberikan oleh bapak tua ini tanpa disadarinya. Pelajaran yang mungkin tidak di dapat di sekolah manapun.
Kadang, kita memang tidak akan pernah tahu akan mendapat pelajaran hidup apa sekarang... dan dari siapa... dari siapapun itu, akan dapat mengubah cara pandang hidup kita. Semoga...