Dan
akhirnya pertanyaan itu muncul lagi. Kenapa harus kamu, Vin? Kok bisa ga jadi?
Kalau kalian sama-sama belum beranjak menikah, kenapa kalian putus dulu? Kenapa
tidak balikan saja?
Ah,
hela nafas sejenak.
Mendengar
tanya itu, aku tersenyum sebentar. Hhh... cerita itu sudah dua tahun yang lalu,
tapi masih saja banyak yang bertanya. Setiap bertemu dengan orang baru atau
teman lama, beberapa diantaranya, entah tahu darimana, selalu menanyakan hal
yang sama.
Aku
tidak keberatan. Tapi, itu artinya mau ga mau aku harus membuka kembali album
yang perlahan kututup. Membukanya berarti mengingatnya kembali. Bukan, aku tak
pernah bermaksud melupakan itu. Karena setuju atau tidak, aku banyak mengambil
pengalaman dari kisah lampau. Paling tidak aku bisa lebih berhati-hati memilih
hati yang baru.
Sebenarnya,
aku tidak lagi sedih mengingatnya. Kalau pertanyaan itu muncul dua tahun yang
lalu, sebulan setelah cerita itu berakhir, atau enam bulan setelah hubungan itu
kandas, mungkin aku akan menjawab betapa hancurnya hatiku, depresi, stress,
sedih dan terpuruk.
Tapi,
dalam perjalanan sampai aku berdiri di sini, aku mengerti bahwa itu bukan
sedih. Aku banyak belajar dan menemukan hal lain untuk membantuku mengatasi hal
itu.
Itu
bukan sedih. Mungkin boleh stress, tapi bukan alasan untuk terpuruk. Teman
perempuanku yang masih mempunyai putra balita, harus kehilangan suaminya karena
musibah. Itu yang disebut sedih. Sahabat perempuan yang kehilangan janinnya di
saat dia begitu mendamba seorang bayi. Itu yang disebut sedih. Sahabat lelaki
yang harus kehilangan putranya. Itu yang disebut sedih.
Perpisahanku
bukan apa-apa. jika aku rindu padanya suatu hari nanti, aku masih bisa
melihatnya. Berbincang dengannya, mungkin. Menurutku, itu lebih tepat disebut
kecewa. Saat harapan tak sejalan dengan kenyataan. Tapi mereka yang dipisahkan
oleh dimensi, tak dapat lagi bersua. Itulah yang disebut kesedihan.
Kalau
mereka bisa bertahan dengan kehilangan dan perpisahan itu, tak ada alasan bagiku
untuk menyerah.
Aku
tidak pernah menyalahkan siapapun atas kejadian yang menimpaku. Tidak juga
menyalahkan seorang gadis yang mencintai sang mantan jauh sebelum hubungan kami
selesai. Dan akhirnya masuk saat hatinya gersang. Meskipun ada rasa sakit yang
luar biasa, karena mereka bersama hanya dalam kurun waktu 2 bulan setelah
berpisah dariku, aku tetap tak bisa menyalahkan mereka. Gadis itu hanya pandai
mengambil momen, dan aku bodoh saat melepaskan itu. Apapun itu, baik atau
buruk, aku lebih mengembalikan semuanya pada diriku sendiri. Saat aku menyadari
itu, aku bisa melangkah dengan lebih ringan.
Kisahku
dengan lelaki berinisial AB itu, resmi aku tutup dua tahun yang lalu. Seperti
sebuah pelajaran sekolah yang berakhir dengan ujian. Asaku hanyalah semoga aku
bisa lulus dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar