Membaca sebuah tulisan lama, Sabtu, 23 Juli 2011, membuatku teringat pada sosok perempuan luar biasa. Kuingatkan lagi, dia adalah Mbak Titi. Perempuan dengan segala keterbatasannya namun memiliki keyakinan pada Allah dan semangat yang lebih tangguh daripada siapapun. Bahkan daripada mereka yang menganggap diri mereka sempurna.
Perkenalan yang diawali hanya dari sebuah pesawat telepon. Suara yang ceria, tak akan dapat orang menyangka bahwa pemiliknya adalah seorang yang lumpuh. Yang seandainya itu menimpa orang lain, mungkin untuk bersemangat seperti dia saja tidak bisa. Dia bahkan mampu menyekolahkan empat keponakannya. Betapa tidak aku bersyukur mengenalnya. Belajar tentang sebuah semangat, kepercayaan, dan keikhlasan pada Sang Maha Pencipta.Belajar untuk yakin, bahwa apapun yang telah ditetapkan oleh Allah, adalah yang paling pantas dan terbaik untuk kita. Dan, hanya kita-lah yang dianggap sanggup menjalaninya. Ingat kata-kata mbak Titi saat divonis seperti itu, "Mau nangi sampai mata buta, mau marah seperti apapun, kalau Allah sudah menetapkan, maka terjadilah. Jalani dengan syukur, dan beri yang terbaik, itu akan lebih meringankanmu."
Satu-satunya yang mebuat dia bersyukur adalah, dengan kondisinya seperti itu, dia lebih mendekatkan diri dengan Sang Khaliq. Dia lebih 'waspada' dan lebih banyak melakukan kebaikan, karena selalu diingatkan bahwa dia bisa meninggal sewaktu-waktu. Berbeda dengan kita yang masih sehat. Merasa bahwa kematian masih jauh dari diri kita. Mbak Titi, lebih beruntung dalam hal ini.
Perkenalan itu tak luput dari sosok seorang Febry Waliulu. Hadiah Tuhan untukku. Disaat aku jauh dari orang-orang yang menyayangiku, disaat aku sendiri, disaat aku rapuh, dia hadir memberikan semangat. Kata-katanya yang bijak membuatku teduh, merasa nyaman berada di dekatnya. Entah apa yang bisa kuberikan untuk berterima kasih padanya. Hanya doa, agar Allah menjaganya selalu dan memberikan yang terbaik untuknya. Dan, nyatanya Allah
Ebi -begitu dia biasa dipanggil- memberitahuku bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh-Nya. Bahkan dia pernah mengalami hal seperti yang kualami. Belajar dari dia yang lebih dulu 'berjalan', membuatku lebih tenang dalam menghadapi masalahku. Dan, seperti katanya, aku akan 'berdiri dengan lebih tegak' dan 'berjalan' juga dibelakangnya.
Satu sosok lagi yang luar biasa untukku. Bernadeth Enbi Birana. Jika suatu hari Allah menghadiahkan aku seorang kakak, tanpa ragu dan bimbang, aku akan mengucapkan namanya. Tak kusangka aku akan dipertemukan dengan 'pendongeng' seperti dia. Caranya yang ekspresif saat menyampaikan sesuatu adalah satu dari banyak ciri khasnya yang akan selalu aku ingat. Dia mengatakan banyak hal 'benar' dan senantiasa mengajariku untuk 'benar' meski dia bukan guru. Bahkan kalau menurutku, dia guru terbaikku. Seorang kakak yang lahir dari hatiku dan akan selalu seperti itu. Aku bahkan sanggup membanjirkan air mataku saat melihatnya pergi. Tapi, aku tahu, kami masih berada di bawah langit yang sama, dan menapak diatas bumi yang sama. Suatu hari nanti, kami pasti akan bertemu lagi.
Namun, aku takkan bisa bertemu dengan mereka bertiga tanpa seorang perempuan lagi. Satu orang perempuan, yang untuknya aku sanggup menukara apapun di dunia ini. Nyawa sekalipun. Yang untuknya, aku sanggup melakukan apapun sekedar untuk melihatnya tersenyum. Yang untuknya, aku sanggup berkorban seperti apapun, demi melihatnya bahagia.
Membaca catatan lama, mengingatkanku pada perempuan ini. Perempuan yang tiada henti mengucap namaku dalam tiap doanya. Perempuan yang karena ijin dan restunya-lah aku berangkat ke puncak, yang akhirnya mempertemukanku dengan Nadeth, Febry, dan Mbak Titi.
Aku menyebut perempuan itu IBU.
Ya, sampai usiaku 26 tahun ini, mereka berempatlah perempuan yang punya andil besar dalam pendewasaanku. Lantunan doaku semoga tak pernah putus untuk mereka. Tiap saat, tiap waktu, hingga suatu hari nanti, Allah akan mempertemukan kami, di buminya.
sampai kapan-pun takkan ada yang dapat menggantikan sosok seorang IBU dalam alur kehidupan setiap hamba ALLAH,
BalasHapusd dunia dan di akhirat :)